Minggu, 30 Oktober 2016

Makalah Sejarah Kebudayaan Islam di Andalusia



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Para ahli sejarah telah mencatat banyak hal tentang perkembangan peradaban Islam khususnya pertengahan abad ke-8 M hingga permulaan abad ke-13 M. Sejarah peradaban islam telah dicatat dalam sejarah, bahwa pada masa tersebut Islam pernah mengalami masa kejayaan. Kejayaan Islam ini diperlihatkan dengan berbagai kemajuan-kemajuan dalam banyak bidang seperti bidang ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, teknologi dan masih banyak yang lainnya. Kemajuan-kemajuan itu terjadi baik dari Daulah Islam di Timur (Daulah Abbasiah) yang berpusat di Baghdad maupun Islam di Barat (Daulah Umayyah) yang berpusat di Cordoba.
Di masa khilafah Bani Umayyah yang berumur kurang lebih 90 tahun telah mencapai keberhasilan ekspansi ke berbagai daerah, baik di Timur maupun di Barat dengan wilayah kekuasaan Islam yang benar-benar sangat luas. Pada zaman khalifah al-Walid Ibn al-Malik, salah satu khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, umat Islam mulai menaklukan semenanjung Iberia. Semenanjung Iberia adalah nama tua untuk wilayah Spanyol dan Portugal. Sejak awal abad 5 Masehi (tahun 406 M), wilayah tersebut dikuasai oleh bangsa Vandals, maka dinamakan Vandalusia. Namun, sejak tahun 711 M, semenanjung Iberia dan wilayah selatan Prancis jatuh ke dalam kekuasaan Islam, diperintah oleh pembesar-pembesar Arab dan Barbar. Sejak itulah, wilayah ini dikenal dengan Andalusia.
Spanyol merupakan tempat paling utama dan jembatan emas bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam dan hasil-hasil kebudayaan Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, perekonomian, maupun peradaban antarnegara. Orang-orang eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada dibawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangga Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahan Islam yang berkembang di periode klasik.
Maka pada makalah ini, penulis akan mencoba membahas secara gamblang mengenai bagaimana peradaban Islam di Andalusia. Tentu Islam membawa banyak peranan penting bagi khazanah peradaban di Andalusia (Spanyol). Banyak perubahan-perubahan drastis setelah masuknya Islam di Andalusia yang patut kita tahu dan cermati sebagai pemikir umat Islam. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam. Sumber data dalam pembahasan makalah ini adalah beberapa buku sejarah kebudayaan dan peradaban Islam dan juga beberapa jurnal yang terkait dengan sejarah Islam di Andalusia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses masuknya islam di Andalusia?
  1. Bagaimana perkembangan peradaban dan pemerintahan politik di Andalusia sebelum dan sesudah masuknya islam?
  2. Bagaimana sistem pemerintahan masa-masa kekhalifaan di Andalusia?
  3. Apa faktor-faktor penyebab keruntuhan kekuasaan islam di Andalusia?
C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan keislaman dalam peradaban Andalusia setelah masuknya Islam bagi para pembaca. Dimana kita bisa cermati perbedaan peradaban antara sebelum masuknya Islam dan sesudah masuknya Islam di Andalusia.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk menjadi bahan penambah informasi tentang peradaban Islam, khususnya peradaban Islam di Andalusia.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Islam di Andalusia
Pada saat berada di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, Daulah Bani Umayyah melakukan ekspansi besar-besaran ke Barat. Pada masa pemerintahan Al-Walid yang berjalan lebih kurang sepuluh tahun, pada tahun 711 M tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya benua Eropa. Setelah menundukkan Aljazair dan Maroko, pemimpin pasukan Islam, Thariq bin Ziyad bersama pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua Eropa. Pasukan Thariq bin Ziyad berlabuh di suatu tempat yang saat ini dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq) (Badri Yatim, 2014: 43). Kapal-kapal yang digunakan oleh pasukan Thariq, menurut beberapa riwayat disediakan oleh Julian, Pangeran Ceuta, yang namannya cukup melegenda (Dedi Supriyadi, 2008: 114).
Sebelum ditakukkan oleh pasukan Islam, Spanyol diperintah oleh Raja Visigoth Roderick yang memerintah Spanyol dengan sewenang-wenang. Salah seorang keluarganya yang menjadi gubernur Ceuta, Julian, menaruh dendam kepada Roderick. Akhirnya Julian melakukan kerjasama dengan tentara Islam yang dipimpin oleh Musa bin Nushair untuk menjatuhkan Roderick (Merduati, 2007: 8).
Bangsa Arab ketika itu mengintai peluang baik untuk menaklukkan tanah Spanyol. Pada tahun 710M, mengangkatlah Witiza, raja Gothia Barat di Andalus, dan singgasananya diduduki secara paksa oleh panglimanya, Roderik, maka semua putra Witiza dendam pada Roderik untuk merebut kembali kedudukan mendiang ayahnya. Untuk usaha ini mereka bersekutu dengan Graf Yulian yang juga musuh Roderik. Maka, karena Graf Yulian sepakat, lalu ia meminta bantuan kepada Musa Ibnu Nusair (Ma’ruf Misbah, dkk, 1996: 25).
Tentu permintaan tersebut diterima Musa dan langsung meminta kepada Khalifah Walid agar mengijinkan penyerangan Spanyol ini. Permohonan Musa dikabulkan dengan pesan agar berhati-hati terhadap Graf, sebab mungkin itu tipuan untuk membinasakan tentara Islam (Ma’ruf Misbah, dkk, 1996: 25).
Untuk membuktikan kebenaran Graf, maka Musa memerintah perwira Tharif bin Malik dan hanya membawa 500 orang tentara, untuk menguasai beberapa pelabuhan di Spanyol Selatan tahun 710M. Ternyata Tharif mendapat bantuan besar dari Graf sehingga memperoleh kemenangan dan mendapat harta rampasan perang yang sangat banyak. Musa semakin yakin, maka ia menyediakan 7.000 orang tentara pilihan, sebagian besar dari suku Barbar, pimpinan seorang panglima yang diserahkan pada Tharik bin Ziad yang ketika itu menjabat Gubernur kota Tanger (Ma’ruf Misbah, dkk, 1996: 25-26).
Dalam ekspedisi yang dilakukan oleh pasukan Islam tersebut, tentara Spanyol dapat dikalahkan oleh pasukan Islam. Ibu Kota Spanyol, Cordova, dengan cepat dapat dikuasai oleh pasukan Islam. Kemudian disusul oleh kota-kota lain, seperti: Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan sebagai ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova (Badri Yatim, 2014: 43-44).
Dalam proses penaklukan Spanyol, terdapat tiga pahlawan Islam yang sangat berjasa. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan Musa bin Nushair. Tharif ibn Malik dapat dikatakan sebagai perintis penaklukan Spanyol. Dia menyeberangi selat yang berada antara Maroko dan benua Eropa bersama pasukan perangnya (Badri Yatim, 2014: 88). Dikisahkan bahwa, setelah mendapat persetujuan dari Khalifah Al-Walid I, Musa bin Nushair memerintahkan panglima Tharif bin Abdul Malik an-Nakhai yang membawa 400 orang tentara dengan 100 pasukan berkuda guna melakukan penjajakan awal. Pasukan Tharif memasuki Spanyol (Andalusia) pada tahun 710 M (Merduati, 2007: 8).
Didorong oleh keberhasilan Tharif tersebut dan juga munculnya kemelut dalam kerajaan Visigothic yang menguasai Spanyol saat itu, serta didorong pula untuk memperoleh harta rampasan perang, bukan hasrat untuk menaklukkan, pada tahun 711 M, Musa bin Nushair mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad (Badri Yatim, 2014: 89). Thariq bin Ziyad adalah seorang budak Barbar yang telah dibebaskan oleh Musa bin Nushair (Dedi Supriyadi, 2008: 114).
Ketika Raja Roderick mengetahui bahwa pasukan Thariq telah memasuki Spanyol, dia berusaha mengumpulkan pasukan penangkal sebanyak 25 ribu tentara. Menyadari jumlah musuh yang tidak seimbang, Thariq meminta bantuan kepada Musa bin Nushair, akhirnya Thariq mendapat tambahan pasukan sebanyak 12 ribu tentara (Dedi Supriyadi, 2008: 118). Sebelum Thariq bin Ziyad menyerang kota-kota lain, Thariq terlebih dahulu menaklukkan Arknidona, kemudian Elvira (Merduati, 2007: 9).
Thariq bin Ziyad adalah pahlawan Islam yang dikenal sebagai penakluk Spanyol disebabkan pasukannya lebih besar serta membuahkan hasil yang nyata. Pasukan Thariq bin Ziyad sebagian besar terdiri dari suku Barbar yang didukung oleh Musa bin Nushair dan sebagian orang Arab yang dikirim oleh Khalifah Al-Walid. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan (Badri Yatim, 2014: 89-90). Pasukan Roderick porak-poranda dalam keadaan kacau, sementara nasib Roderick ditentukan diujung tombak Thariq bin Ziyad (Merduati, 2007: 10). Kemenangan yang diperoleh oleh pasukan Thariq bin Ziyad telah membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Pada tahapan selanjutnya, Musa bin Nushair ikut melibatkan diri dalam pertempuran dengan membawa pasukan dalam jumlah besar. Akhirnya satu persatu kota penting di Spanyol, seperti Sidonia, Karmona, Seville dan Merida dapat ditaklukkan (Badri Yatim, 2014: 89-90).
Dikisahkan bahwa Musa bin Nushair membakar semua kapal perangnya dengan tujuan agar pasukannya tidak kembali lagi ke Afrika atau melarikan diri. Akhirnya, setelah berhasil menaklukkan Semananjung Iberia (Spanyol), Musa bin Nushair mendeklarasikan kawasan tersebut sebagai bagian dari kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus (Dedi Supriyadi, 2008: 115).
Kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh pasukan Islam di Spanyol tidak terlepas dari dua faktor; internal dan eksternal. Faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di negeri Spanyol sendiri. Pada saat pasukan Islam melakukan ekspansi, kondisi sosial, politik dan ekonomi di Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan. Saat itu, penguasa Gothic di Spanyol bersikap tidak toleran terhadap aliran-aliran agama yang berkembang di Spanyol. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian besar dari penduduk Spanyol dipaksa untuk dibabtis menurut ajaran Kristen. Dalam kondisi seperti itu, kaum tertindas di Spanyol menanti kedatangan juru selamat, dan juru selamat tersebut adalah pasukan Islam (Badri Yatim, 2014: 91). Faktor lainnya yang menjadi penyebab kekalahan Roderick adalah kondisi pasukannya yang tidak mempunyai semangat perang (Dedi Supriyadi, 2008: 119).
Adapun faktor internal yang menyebabkan kemenangan pasukan Islam di Spanyol adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan prajurit Islam yang terlibat dalam pasukan perang di Spanyol. Para pemimpin pasukan Islam adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri. Hal terpenting lainnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan oleh para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan dan tolong menolong sehingga masyarakat Spanyol dengan mudah bisa menerima kedatangan pasukan Islam (Badri Yatim, 2014: 93).
Kerajaan dinasti Umayyah Spanyol memerintah dengan mengikuti sistem otokrasi yang pemerintahannya mempunyai kekuasaan penuh. Semua urusan pemerintahan, baik yang ada di dalam maupun yang ada di luar negeri, berada di bawah kendali amir atau khalifah yang sekaligus bertindak juga sebagai panglima tentara dan ketua peradilan.
Institusi khalifah diwujudkan pada tahun 929 Masehi dan citra khalifah lebih ditonjolkan. Akan tetapi sejak tahun 929 Masehi, nama Abdurrahman III An-Nasir disebut sebagai pemimpin umat. Disamping amir atau khalifah, terdapat seorang lagi yang berkuasa yaitu perdana menteri (hajib). Tugasnya sama dengan tugas seorang wazir (menteri) di timur kekhalifahan Islam. Perbedaannya ialah di Spanyol, setiap hajib mempunyai beberapa orang menteri di bawahnya. Menteri-menteri ini ditugaskan untuk mengurus tata kerja pemerintahan yang berpusat di istana Cordova (Nurjamil, 2015: 42).
Badri Yatim, dalam bukunya mengemukakan bahwa sejak berhasil ditaklukkan, Islam memainkan peranan besar di Spanyol yang berlangsung lebih dari tujuh abad. Menurut Yatim, sejarah panjang umat Islam di Spanyol dapat dibagi ke dalam enam periode:

1.      Masa Periode Para Wali (711-755 M)
Periode pemerintahan Islam pertama di Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang saat itu berpusat di Damaskus. Pada periode pertama ini, stabilitas politik di Spanyol belum sempurna dan masih terjadi berbagai gangguan, baik yang datang dari dalam, maupun dari luar (Badri Yatim, 2014: 93-94).
Ganggguan dari dalam, di antaranya berupa perselisihan anta relit penguasa yang diakibatkan oleh perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, juga terdapat perbedaan pandangan antara Khalifah Umayyah di Damaskus dengan Gubernur Afrika Utara, di mana masing-masing pihak saling klaim bahwa mereka-lah yang menguasai Spanyol. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya dua puluh kali pergantian wali (gubernur) di Spanyol dalam waktu yang singkat. Perbedaan politik tersebut juga mengakibatkan sering terjadinya perang saudara di Spanyol (Badri Yatim, 2014: 94).
Adapun gangguan dari luar berasal dari sisa-sisa musuh Islam yang ada di Spanyol. Mereka bertempat tinggal di daerah pegunungan dan tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam Spanyol. Karena sering terjadinya konflik internal dan mendapat serangan-serangan dari luar, pada periode ini Spanyol belum mampu melaksanakan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode para wali ini berakhir setelah datangnya Abdul Rahman ad-Dakhil ke Spanyol pada tahun 755 M (Badri Yatim, 2014: 94).



2.      Masa Keamiran (755-912 M)
Setelah berakhirnya periode pemerintahan para wali, untuk selanjutnya Spanyol berada di bawah pimpinan para amir (panglima atau gubernur). Pemerintahan Islam yang dipimpin oleh para amir di Spanyol tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam yang saat itu dipegang oleh para khalifah Abbasiyah di Bagdad (Badri Yatim, 2014: 94-95).
Amir pertama yang memerintah di Spanyol setelah masa para wali adalah Abdurrahman I yang diberi gelar ad-Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Abdurrahman ad-Dakhil masuk ke Spanyol pada tahun 755 M. Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari serangan Bani Abbasiyah yang saat itu telah berhasil menaklukkan Khilafah Bani Umayyah di Damaskus (Badri Yatim, 2014: 95). Abdurrahman ad-Dakhil berhasil menyingkirkan Yusuf ibn Abdurrahman Al-Fihri yang menyatakan diri tunduk kepada kekuasaan Bani Abbasiyah pada tahun 138 H/756 M. Abdurrahman ad-Dakhil memproklamirkan bahwa Andalusia lepas dari kekuasaan Bani Abbasiyah dan dia memakai gelar amir, bukan khalifah (Dedi Supriyadi, 2008: 115).
Kekuasaan yang didirikan oleh Abdrahman ad-Dakhil mampu bertahan selama dua tiga per empat abad (756-1031), (Dedi Supriyadi, 2008: 115). Para penguasa Spanyol pada masa Keamiran adalah: Abdurrahman ad-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdul Rahman al-Ausath, Muhammad ibn Abdurrahman, Munzir ibn Muhammad dan Abdullah bin Muhammad (Badri Yatim, 2014: 95). Masa Keamiran di Spanyol mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan amir ke delapan, Abdurrahman III (912-961) yang merupakan pemimpin terkuat dan orang yang pertama sekali menyandang gelar khalifah (Dedi Supriyadi, 2008: 115). Abdurrahman III memilih sendiri gelarnya, yaitu Al-Khalifah An-Nashir li Din Allah (Khalifah penolong agama Allah), (Dedi Supriyadi, 2008: 116).
Pada periode pemerintahan di bawah para amir, Spanyol sudah mulai memperoleh kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abdurrahman ad-Dakhil pada saat itu mendirikan masjid Cordova dan juga membangun sekolah di beberapa kota besar di Spanyol. Selain Abdurrahman ad-Dakhil, beberapa amir lainnya juga telah berhasil membangun peradaban di Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam di Spanyol. Sementara itu, Hakam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran yang telah memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abdul Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasan yang mencintai ilmu pengetahuan. Pada periode ini, pemikiran filsafat juga sudah mulai masuk ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol sudah mulai marak (Badri Yatim, 2014: 95).
Meskipun demikian, stabilitas negara pada periode pemerintahan para amir juga sempat terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan pada pertengahan abad ke-9. Namun, seluruh gereja Kristen di Spanyol tidak mendukung gerakan tersebut karena jauh sebelumnya pemerintahan Islam telah mengembangkan kebebasan beragama di Spanyol (Badri Yatim, 2014: 95).
Gangguan politik paling serius pada masa ini justru datang dari umat Islam sendiri. Gerakan pemberontak di Toledo pada tahun 825 M telah berhasil membantuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu, perseteruan antara orang Arab dan Barbar juga terus terjadi di Spanyol (Badri Yatim, 2014: 96).

3.      Masa Kekhalifahan (912-1013 M)
Periode ketiga sejarah Islam di Spanyol, dimulai dari pemerintahan Abdurrahman III sampai dengan munculnya raja-raja kelompok (Muluk Thawaif). Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa muslim yang menggunakan gelar khalifah. Penggunaan gelar khalifah ini dipicu oleh kondisi Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad yang sedang berada dalam kemelut dengan terbunuhnya Khalifah Al-Muktadir. Menurut Abdurrahman III, penggunaan gelar khalifah pada saat itu sudah sangat tepat, setelah gelar khalifah tersebut hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun. Untuk pertama kalinya, gelar khalifah bagi penguasa Spanyol digunakan pada tahun 929 M. Ada tiga orang khalifah besar yang mengendalikan kekuasaan Islam di Spanyol, yaitu Abdurrahman III (912-961 M), Hakam II (961-976 M) dan Hisyam II (976-1009 M), (Badri Yatim, 2014: 96).
Pemerintahan Abdurrahman III dan penerusnya Al-Hakam II, kemudian dilanjutkan oleh kediktatoran Hajib al-Manshur menandai puncak kejayan muslim di Barat. Sebelum dan sesudah periode ini, sebagaimana disebut Hitti, Spanyol muslim tidak pernah mampu menggenggam pengaruh politik sedemikian rupa, baik di Eropa maupun di Afrika (Philip K. Hitti, 2013: 668-669).
Pada periode ini, umat Islam di Spanyol berhasil mencapai puncak kejayaan dan mampu menyaingi kejayaan Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad. Pada masa ini masyarakat Spanyol dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran (Badri Yatim, 2014: 97).

4.      Muluk at-Thawaif (1013-1086 M)
Pada periode ini, kekuasaan Islam di Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh kerjaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja golongan atau Al-Muluk at-Thawaif. Pemerintahan ini terpusat di kota-kota tertentu, seperti Seville, Cordova, Toledo dan sebagainya. Kerajaan terbesar pada masa ini adalah Abbadiyah di Seville. Pada masa ini juga sering terjadi perang saudara antara umat Islam, bahkan ada sebagian pihak yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Disebabkan kondisi umat Islam yang lemah pada saat itu, para penguasa Kristen mulai melakukan penyerangan. Meskipun kondisi politik tidak stabil, namun pada masa Muluk at-Thawaif ini kehidupan intelektual terus mengalami perkembangan (Badri Yatim, 2014: 97-98).
Kerajaan-kerajaan kecil pada masa Muluk at-Thawaif dipimpin oleh orang-orang Barbar, Slavia dan Arab. Kerajaan kecil yang terkuat pada masa ini, di antaranya: Bani Ibad di Seville, Alfasid di Bedajoz, Al-Ziri di Granada, Zu al-Nun di Toledo dan Bani Hud di Saragossa serta 38 kerajaan kecil lainnya yang tersebar di wilayah Spanyol (Merduati, 2007: 33).
Puncak berakhirnya Muluk Thawaif ditandai dengan jatuhnya Toledo ke tangan Alfonso VI (1065-1109) yang pada saat itu berada dalam pemerintahan Banu Zi an-Nun (1032-1085). Alfonso memanfaatkan pertentangan raja-raja kecil Muluk at-Thawaif dengan memberikan bantuan kepada salah satu pihak yang sedang bertikai (Merduati, 2007: 40).

5.      Reconquesta (Penaklukkan Kembali)
Periode penaklukan kembali Spanyol (reconquesta) dimulai sejak jatuhnya kekhalifahan Umayyah pada abad ke-11. Namun demikian, para sejarawan Spanyol menganggap bahwa pertempuran Covadonga pada tahun 718 M yang dilakukan oleh pemimpin Asturia, Pelayo, yang berhasil memukul mundur pasukan Islam merupakan tanda dimulainya penaklukan sesungguhnya. Menurut Hitti, andai saja pasukan Islam menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Kristen di wilayah pegunungan utara, mungkin kisah Spanyol selanjutnya akan sangat berbeda (Philip K. Hitti, 2013: 700).
Setelah sempat berhenti beberapa saat, karena mengurusi pertikaian internal antar pemimpin Kristen di utara, proses perebutan kembali ini menjadi lebih cepat karena Castile dan Leon telah bersatu pada tahun 1230 M. Pada paruh abad ke-13, penaklukkan kembali ini dengan pengecualian Granada hampir tuntas dijalankan. Toledo direbut pada tahun 1085 M, diikuti Cordova tahun 1236 M dan Seville pada 1248 M (Philip K. Hitti, 2013: 700).
Reconquesta menampakkan dirinya sebagai sebuah gerakan yang bertujuan membebaskan negeri Spanyol dari pengaruh Islam. Gerakan ini sekaligus merupakan lambing pemberontakan umat Kristen terhadap pemerintahan Islam dan kaum muslimin. Pemberontakan tersebut telang berlangsung selama berabad-abad, akan tetapi gerakan ini tidak menyeluruh dan tanpa koordinasi dengan baik (Merduati, 2007: 64).
Gerakan Reconquesta baru terlaksana secara menyeluruh dan terkoordinasi setelah akhir kekuasaan Bani Umayyah di Spanyol. Gerakan ini tidak putus-putus memainkan peranannya dalam menyingkirkan Islam di Spanyol (Merduati, 2007: 64-65).

6.      Masa Dinasti Murabithun
Gerakan Al-Murabithun dimulai sekitar tahun 1039 M oleh seorang tokoh muslim Maroko, Abdullah bin Yasin. Dia mendirikan sebuah benteng di sebuah pula di sungai Nigeria. Benteng yang disebut ribat tersebut didirikan sepanjang garis perbatasan antara dunia muslim dan non muslim. Pada saat tidak berperang, mereka menghabiskan waktu untuk berzikir kepada Allah di dalam ribat sehingga mereka disebut dengan Murabithun, yaitu orang-orang yang menghuni ribat.
Dinasti Murabithun pada awalnya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf in Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062, dia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Dinasti Murabithun masuk ke Spanyol atas undangan para penguasa Islam di Spanyol yang sedang kewalahan mempertahankan kekuasaan Islam akibat serangan-serangan dari penguasa Kristen. Yusuf ibn Tasyfin bersama pasukannya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia.Kondisi Spanyol yang tidak stabil saat itu akhirnya mendorong Dinati Murabithun untuk menguasai Spanyol. Akan tetapi, penguasa Dinasti Murabithun sepeninggal Yusuf ibn Tasyfin adalah orang-orang lemah sehingga pada tahun 1143 kekuasaan Dinasti Murabithun berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol. Pada saat Spanyol dikuasi oleh Dinasti Murabithun, tepatnya pada tahun 1118 M, Saragossa jatuh ke tangan Kristen. Sepeninggal Dinasti Murabithun ini, di Spanyol kembali muncul dinasti-dinasti kecil yang berlangsung tiga tahun. Selanjutnya kekuasaan Dinasti Murabithun digantikan oleh Dinasti Muwahidun (Badri Yatim, 2014: 98).
Dinasti Murabithun berhasil merebut kota-kota di Spanyol, satu per satu. Pada bulan November 1090 M, mereka berhasil merebut Granada dan disusul oleh Seville. Satu-satunya kota yang masih berada dalam kekuasaan Kristen dan tidak mampu direbut oleh Dinasti Murabithun adalah kota Toledo. Pemerintahan Dinasti Murabithun sudah mulai stabil pada tahun 1102 M dan mulai saati itu Dinasti Murabithun menjadi sebuah dinasti yang diperhitungkan sepanjang utara Afrika dan Spanyol. Keberadaan Dinasti Murabithun di Spanyol juga telah berhasil mewujudkan kepastian hukum, sehingga orang-orang Nasrani juga mendapat hak mereka sesuai hukum yang berlaku. Dalam beberapa dasawarsa kemakmuran masyarakat Spanyol terasa meningkat (Merduati, 2007: 36).
Di atas kekuasaan golongan Murabithun, yang terdiri dari para muallaf yang mewarisi tradisi Barbar memunculkan ledakan gairah keagamaan fanatik di awal abad ke-12 yang pada gilirannya merugikan kaum Kristen, Yahudi dan bahkan kaum muslimin liberal (Philip K. Hitti, 2013: 690).
Dalam bidang fiqh, Dinasti Murabithun menjadikan Mazhab Maliki sebagai mazhab resmi dalam pemerintahannya. Meskipun Al-Ghazali merupakan salah seorang ulama terkemuka yang mendukung Dinasti Murabithun untuk menyerang Muluk at-Thawaif, namun penguasa dinasti tersebut memasukkan karya-karya Al-Ghazali dalam daftar hitam hitam dan diperintah untuk dibakar karena dianggap dianggap tidak sejalan dengan Mazhab Maliki (Merduati, 2007: 37).
Selama lebih dari setengah abad, kekuasaan Murabithun begitu kuat di Afrika Barat Daya dan Spanyol Selatan. Untuk pertama kalinya seorang Barbar memainkan peran penting di panggung dunia (Philip K. Hitti, 2013: 689). Selama menguasai Spanyol, Dinasti Murabithun telah menyelamatkan umat Islam dari serangan Kristen, atau setidaknya mereka telah mampu menunda kehancuran Islam di Spanyol. Dinasti Murabithun juga berhasil mengalahkan perlawanan Alfonso IV (Merduati, 2007: 35).
Dinasti Murabithun di Spanyol berumur pendek, kekuasaan dinasti tersebut dilingkupi oleh lingkar nasib kerajaan-kerajaan Asiatik dan Afrika, oligarki militer yang efesien dan diikuti kemalasan dan korupsi yang mengarah pada disintegrasi dan kejatuhan (Merduati, 2007: 45).

7.      Masa Dinasti Muwahhidun
Dinasti Muwahhidun didirikan oleh Ibn Tumart yang wafat pada 1128 M. Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd Al-Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154 M beberapa kota penting, seperti Cordova, Almeria dan Granada berhasil direbut oleh Dinasti Muwahhidun. Selama berkuasa di Spanyol, Dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen berhasil memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa (Badri Yatim, 2014: 99).
Muhammad ibn Tumart yang digelari dengan Al-Mahdi, berkeinginan memulihkan Islam ke dalam bentuknya yang asli. Dia mengajarkan kepada para pengikutnya tentang doktrin tauhid, keesahan Tuhan dan konsep spiritual tentang Tuhan. Langkah ini merupakan bentuk protes kepada antromorfisme yang berlebihan dan telah menyebar di kalangan umat Islam kala itu (Philip K. Hitti, 2013: 694).
Setelah Abdul al-Mu’min meninggal (1163 M), penguasa al-Muwahhidun terbesar lainnya adalah Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199 M). Pada masa ia berkuasa, Seville dijadikan sebagai ibu kota kerajaan untuk Spanyol. Dia juga membantu kaum muslimin di Mesir yang sedang melawan tentara Salib dengan mengirim 180 kapal kepada Salahuddin al-Aiyubi. Masa pemerintahan al-Mansur ini dipandang sebagai masa keemasan bagi Dinasti Muwahhidun (Merduati, 2007: 39).
Perhatian utama Dinasti Muwahhidun adalah memenangi perang suci melawan Kristen di Spanyol. Namun keinginan tersebut tidak berhasil dicapai (Philip K. Hitti, 2013: 697). Disebabkan beberapa kakalahan yang dialami oleh Dinasti Muwahhidun, akhirnya para penguasa Dinasti ini memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Pasca ditinggalkan oleh Dinasti Muwahhidun, keadaan Spanyol kembali kacau di bawah kekuasaan raja-raja kecil. Kondisi tersebut menyebabkan umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan pasukan Kristen. Pada tahun 1238 M, Cordova jatuh ke tangan Kristen dan disusul oleh Seville pada tahun 1248 M. Akhirnya, seluruh Spanyol, kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam (Badri Yatim, 2014: 99).

8.      Masa Bani Ahmar (1232-1492 M)
Pada periode keenam sejarah Islam di Spanyol, umat Islam hanya berkuasa di daerah Granada yang dipimpin oleh Bani Ahmar. Pemerintah bani Ahmar berdiri dan berkuasa di Spanyol selama 2,5 abad yang dipimpin oleh 32 orang Khalifah. Pada awalnya pergantian kepemimpinan dilakukan dengan rasa ikhlas, tetapi lama kelamaan disebabkan nafsu terhadap kemewahan banyak yang menyodorkan diri sebagai pemimpin. Kondisi ini akhirnya menyebabkan terjadinya pergolakan politik dalam istana (Merduati, 2007: 52).
Pada masa Bani Ahmar, peradaban Islam di Granada mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman An-Nashir, tetapi sayangnya dinasti ini hanya memiliki wilayah kekuasaan yang kecil (Badri Yatim, 2014: 99-100). Kejayaan Bani Ahmar, mencapai puncaknya pada masa sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan sultan ke delapan. Orang yang berusaha mengembangkan tamaddun Islam di Spanyol terbagi kepada dua golongan. Pertama, golongan Arab dan ahli pikir yang pindah ke Spanyol pada saat Islam masuk ke sana. Kedua, adalah golongan yang lahir di Spanyol sendiri. Golongan kedua ini adalah gabungan antara pendatang dengan rakyat pribumi Islam di Spanyol (Merduati, 2007: 53).
Kebudayaan umat Islam di Spanyol terhenti ketika terjadinya kemelut di lingkungan istana akibat perebutan kekuasaan. Hal ini menyebabkan hilangnya pamor Granada yang terkenal dengan peradaban dan keunikan bangunannya. Bangunan megah terakhir yang didirikan oleh umat Islam di Spanyol adalah istana Alhamra yang diselesaikan pada masa Sultan Muhammad Al-Ghani Billah. Pada masa pemerintahan selanjutnya, kebudayaan umat Islam di Spanyol tidak lagi menonjol (Merduati, 2007: 74).
Kekuasaan Islam yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol ini berakhir setelah terjadi konflik internal di tubuh Bani Ahmar. Abu Abdullah Muhammad yang merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain untuk menjadi raja, akhirnya melakukan pemberontakan yang mengakibatkan ayahnya terbunuh. Kemudian pemerintahan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinad dan Isabella untuk menjatuhkan pemerintahan Muhammad ibn Sa’ad. Akhirnya, dua penguasa Kristen ini berhasil menjatuhkan penguasa yang sah dan kemudian digantikan oleh Abu Abdullah. Namun pada perkembangan selanjutnya, Ferdinand dan Isabella berkeinginan untuk merebut kekuasaan Bani Ahmar yang merupakan kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol (Badri Yatim, 2014: 99-100).
Tak lama setelah Muhammad XII (Zaghall) dikalahkan, Abu Abdullah diminta oleh Ferdinand untuk menyerahkan kota yang baru dikuasainya. Pada musim semi tahun berikutnya, Ferdinand bersama 10.000 tentara berkuda kembali memasuki Granada dan menghancurkan lading-ladang pertanian dan kebun buah-buahan. Kemudian Ferdinand mengepung benteng pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol dengan sangat rapat dengan maksud agar penguasa muslim tersebut segera menyerah (Philip K. Hitti, 2013: 704).
Setelah mendapat serangan dari pasukan Kristen tersebut, akhirnya Abu Abdullah menyerahkan kekuasaan Bani Ahmar kepada Ferdinand dan Isabella, Abu Abdullah sendiri terpaksa hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol pada tahun 1609 M (Badri Yatim, 2014: 100).
Sebelumnya, pada saat pasukan muslim telah menyatakan menyerah, penguasa Kristen memberikan beberapa syarat kepada umat Islam di Spanyol. Pertama, sultan beserta pejabatnya harus mengucapkan sumpah setia kepada raja-raja Castile. Kedua, Abu Abdillah akan menerima sebidang tanah di al-Basyarat. Ketiga, orang Islam dijamin keamanannya oleh hukum mereka dan bebas menjalankan ajaran agamanya (Philip K. Hitti, 2013: 705). Tetapi pada perkembangan selanjutnya, raja tertinggi dari penguasa Kristen, Ferdinand dan Isabella melanggar syarat kesepakatan perlindungan. Di bawah kepemimpinan pendeta kepercayaan Isabella, yang bernama Kardinal Ximenez de Cisneros, kampanye untuk memaksa perpindahan agama pun dilakukan, tepatnya pada tahun 1499. Kardinal tersebut menarik buku-buku tentang Islam dan membakarnya. Saat itu, Granada menjadi medan api tempat pembakaran naskah-naskah Arab. Semua orang muslim yang tetap tinggal di Spanyol setelah penaklukkan Granada disebut sebagai Moriscos, sebuah nama yang awalnya diterapkan kepada orang Spanyol yang memeluk Islam (Philip K. Hitti, 2013: 706).

B.     Kemajuan Peradaban Islam di Andalusia
Masuk dan berkembangnya Islam di Andalusia (Spanyol) selama lebih kurang tujuh setengah abad telah membuka ckarawala baru dalam sejarah Islam. Pada saat itu umat Islam di Spanyol telah mencapai kemajuan yang pesat, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Hal ini ditandai dengan bermunculan figur-figur ilmuan yang sukses di bidangnya masing-masing (Dedi Supriyadi, 2008: 119). Sampai dengan saat ini, buah karya ilmuan muslim di Spanyol telah menjadi bahan rujukan para akademisi, baik di Barat maupun di Timur (Dedi Supriyadi, 2008: 120).
Meskipun terjadi persaingan sengit antara penguasa Abbasiyah di Baghdad dengan Umayyah di Spanyol, namun hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selamanya berupa peperangan. Walaupun umat Islam berpecah dalam beberapa kesatuan politik, tetapi kesatuan budaya Islami tetap terjaga dengan baik. Bahkan, perpecahan umat Islam di Spanyol pada masa Muluk at-Thawaif juga tidak menyebabkan mundurnya peradaban dan justru pada masa itu merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan Spanyol Islam. Muluk at-Thawaif juga disebut-sebut berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang lebih maju (Badri Yatim, 2014: 106-107).
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa kemajuan peradaban Islam di Spanyol pada saat itu telah berimbas pada bangkitnya Renaisans di dunia Barat pada abad pertengahan sehingga dapat dikatakan bahwa Arab Spanyol adalah guru bagi bangsa Eropa. Cordova sebagai ibukota Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang tinggi sehingga dapat menyamai kemasyhuran Baghdad di Timur dan Kairo di Mesir (Dedi Supriyadi, 2008: 120).
Kemajuan Eropa yang terus berkembang sampai saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Meskipun banyak saluran yang menjadi media bagi peradaban Islam dalam mempengaruhi Eropa, namun Spanyol adalah saluran yang terpenting. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh di Eropa adalah Ibn Rusyd. Dia telah melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, sehingga menimbulkan gerakan Averroisme (Ibn Rusyd). Berawal dari gerakan Averroisme ini-lah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M (Badri Yatim, 2014: 108-109).
Pengaruh peradaban Islam di Eropa, berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti: Universitas Cordoba, Seville, Malaga, Granada dan Salamanca (Badri Yatim, 2014: 109).
Kedatangan Islam di Spanyol membawa perubahan yang sangat besar, terutama di bidang sosial dan ilmu pengetahuan serta kebudayaan. Perkembangan kebudayaan di Spanyol Islam terbentuk bukan hanya karena sentuhan dari tradisi Arab-Islam dengan kebudayaan masyarakat yang multibudaya inilah yang akhirnya terikat menjadi satu dan membentuk budaya Islam yang tinggi pada masa itu. Semua ini tidak terlepas dari kepiawaian dan dukungan dari penguasa dalam memajukan ilmu pengetahuan dan tingginya motivasi umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan budaya, sehingga dalam waktu singkat Spanyol berubah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan islam di belahan Barat (Samsul Nizar, 2009).
Adapun beberapa kemajuan intelektual dan fisik yang berhasil dicapai oleh umat Islam di Spanyol adalah sebagai berikut:

1.        Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
Dalam bidang filsafat, Spanyol Islam telah merintis pembangunannya sekitar abad ke-9 M selama pemerintahan Muhammad bin Abdurrahman. Kajian tentang filsafat ini dilanjutkan oleh penguasa berikutnya, yakni Al-Hakam (961-976 M) yang mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor karya-karya ilmiah dan filosofis dari Timur dalam jumlah yang besar (Dedi Supriyadi, 2008: 120).
Kekuasaan Islam di Spanyol merupakan jembatan penyeberangan ilmu pengetahuan Yunani dari Arab ke Eropa pada abad ke-12. Tokoh utama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakar Muhammad ibn Al-Sayigh yang lahir di Saragosa dan lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Tokoh lainnya adalah Ibn Thufail yang lahir di sebuah dusun kecil sebelah timur Granada (Badri Yatim, 2014: 101).
Pada akhir abad ke-12 juga muncul seorang pengikut Aristoteles yang berasal dari Andalusia (Spanyol), (Badri Yatim, 2014: 102). Beliau adalah Ibn Rusyd. Namanya mencuat karena pemikirannya dalam filsafat telah membawa kemajuan pesat, tidak hanya di dunia Islam, tetapi juga bagi dunia Barat. Ibn Rusyd dilahirkan di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M (Afrizal, 2006: 76-77).
Karya paling penting yang dihasilkan oleh Ibn Rusyd dalam bidang filsafat adalah Tahafut at-Tahafut sebagai jawaban atas serangan Al-Ghazali atas rasionalisme dalam karyanya Tahafut al-Falasifah. Berkat karyanya tersebut, Ibn Rusyd menjadi filosof paling terkenal di dunia muslim, sedangkan di kalangan Yahudi dan Kristen, dia dikenal sebagai komentator Aristoteles (Philip K. Hitti, 2013: 743).
Kemajuan ilmu pengetahuan Spanyol Islam tidak terlepas dari berbagai faktor penunjang, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal dalam hal ini adalah faktor ajaran islam sebagai motifasi, nilai dan doktrin yang terakumulasi dalam al-Qur’an dan Hadits, ini merupakan pendorong utama dalam memajukan pendidikan Spanyol Islam. Sedangkan faktor ekstrinsik, merupakan faktor yang berhubungan dengan upaya kaum muslimin Spanyol dalam menciptakan kultur Islam dalam membentuk kebudayaan. Faktor tersebut antara lain adalah: (1) faktor kekuasaan, (2) faktor akademis, (3) faktor kompetisi positif yang ditunjukkan umat Islam dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, (4) faktor toleransi dan stabilisasi nasional antara Islam dan non-Islam (Samsul Nizar, 2009).

2.        Bidang Geografi dan Sains
Spanyol Islam (Andalusia) juga banyak melahirkan ilmuan di bidang sains. Dalam bidang Matematika, pakar yang paling terkenal adalah Ibn Sina. Bidang Matematika juga melahirkan Ibn Saffat dan Al-Kimmy, keduanya juga dikenal sebagai ahli di bidang teknik. Dalam bidang Fisika muncul tokoh Ar-Razi yang telah berhasil membuat sejumlah substansi dan proses kimiawi. Dalam bidang Kimia dan Astronomi, selain Abbas ibn Farmas juga dikenal Ibrahim ibn Yahya An-Naqqash. Abbas ibn Farmas adalah penemu pembuatan kaca dari batu, sedangkan Yahya An-Naqqash dikenal sebagai orang yang dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari (Dedi Supriyadi, 2008: 121).
Para tokoh muslim di Spanyol juga memperoleh prestasi di bidang ilmu pengetahuan alam, terutama ilmu botani murni dan terapan. Mereka melakukan berbagai penelitian yang akurat tentang perbedaan jenis kelamin berbagai tanaman (Philip K. Hitti, 2013: 731). Pada abad ke-12, di Seville, hidup Abu Zakariya Yahya ibn Muhammad ibn Al-Awwam yang telah mampu menghasilkan karya di bidang agrikultur, yaitu Al-Filahah. Karya ini tidak menjadi referensi penting di dunia Islam, tetapi menjadi karya istimewa pada abad pertengahan. Buku tersebut menjelaskan sekitar 585 jenis tanaman serta mengungkapkan perkembangbiakan lebih dari 50 jenis buah. Tapi sayangnya, menurut Hitti, buku yang sangat istimewa tersebut tidak terlalu dikenal oleh penulis Arab (Philip K. Hitti, 2013: 732).
Ilmuan yang paling terkenal dalam bidang botani dan farmasi di Spanyol, bahkan di seluruh dunia Islam, adalah Abdullah ibn Muhammad Al-Baythar yang lahir di Malaga. Di antara karyanya adalah al-Mughni fi al-Adwiyah al-Mufradah tentang pengobatan dan al-Jami’ fi al-Adwiyah al-Mufradah yang merupakan catatan mengenai obat-obatan dari binatang, sayuran dan mineral(Philip K. Hitti, 2013: 733). Ahli obat-obatan lainnya adalah Ahmad ibn Ibas dari Cordova. Sementara itu, Umm Al-Hasan binti Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita (Badri Yatim, 2014: 102).
Ibn Al-Khatib (1313-1374 M) adalah dokter ternama di Granada. Dia telah pernah mengarang sebuah buku tentang penyakit menular dan epidemia. Pada saat itu Al-Khatib muncul di antara dokter-dokter di Eropa, dia menerangkan dengan baik tentang bentuk dan penyebab penyakit epidemia (Merduati, 2007: 56). Selain itu, Ibn Khatima juga seorang dokter yang masyhur dan wafat pada tahun 1369 M. Dia juga menulis tentang penyakit menular (Merduati, 2007: 56-57).
Ahli geografi paling terkenal pada abad ke-11 M adalah Al-Bakri, seorang Arab Spanyol. Al-Bakri adalah ahli geografi pertama dari muslim Barat yang karyanya mampu bertahan sampai sekarang. Sedangkan penulis geografi dan ahli kartografi paling cerdas pada abad ke-12 adalah Al-Idrisi, seorang keturunan bangsawan Arab Spanyol. Setelah Al-Idrisi, kepustakaan geografi berbahasa Arab dapat dikatakan tidak sepenuhnya menampilkan originalitas, tapi lebih banyak bercerita tentang kisah para petualang (Philip K. Hitti, 2013: 724).

3.        Bidang Sejarah dan Sosiologi
Dalam bidang sejarah, Spanyol Islam telah melahirkan banyak penulis sejarah terkenal, di antaranya Zubair dari Valancia yang menulis sejarah tentang negeri-negeri muslim di Mediterania serta Sisilia. Tokoh lainnya, Ibn Al-Khatib yang menulis sejarah tentang Granada dan Ibn Khaldun yang merumakan seorang perumus filsafat sejarah. Karya besar lainnya yang ditulis oleh sejarawan Spanyol Islam adalah Tarikh Iftitah Al-Andalus yang ditulis oleh Ibn Qutyah, dia lahir dan dibesarkan di Cordoba, wafat pada tahun 977 M. Selain itu, karya besar lainnya ditulis oleh Ibn Hayyan yang berjudul Al-Muqrabis fi Tarikh Ar-Rizal Al-Andalus (Dedi Supriyadi, 2008: 122).
Ibnu Khaldun adalah ahli sejarah yang sangat terkenal melalui karyanya Miqaddimah. Sebagai seorang ilmuan yang mencoba merumuskan hukum-hukum kemajuan dan kemunduran suatu bangsa, Ibn Khaldun juga dianggap sebagai penemu sejati cabang ilmu sosiologi. Tidak ada penulis Arab, atau pun Eropa yang pernah meletakkan sudut pandang sejarah dengan begitu komprehensif dan filosofis. Menurut Hitti, semua pendapat kritis bersepakat bahwa Ibn Khaldun merupakan filosof sejarah terbesar yang pernah dilahirkan Islam sepanjang masa (Philip K. Hitti, 2013: 724).
Umat Islam di Spanyol juga melahirkan beberapa orang penulis biografi. Salah satu yang pertama di antara mereka adalah Abu Al-Walid ibn Abdullah Al-Faradhi yang lahir pada 962 M di Cordova. Satu-satunya karya Ibn Al-Faradhi adalah Tarikh Ulama al-Andalus yang masih ada sampai sekarang (Philip K. Hitti, 2013: 720).



4.        Bidang Agama dan Hukum Islam
Umat Islam di Spanyol menganut Mazhab Maliki pada awalnya diperkenalkan oleh Ziyad ibn Abdurrahman yang selanjutnya dikembangkan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam bin Abdurrahman. Ahli Fiqih lainnya yang terkenal di Spanyol adalah Abu Baki, Ibn Al-Qutiyah, Munzir, Ibn Said Al-Batuthi dan Ibn Hazm. Selain itu, Ibn Rusyd yang juga ahli fiqih telah menulis sebuah kitab fiqih monumental yang dinamai dengan Bidayatul Mujtahid. Sampai dengan saat ini, kitab tersebut masih menjadi rujukan dalam bidang fiqih, khususnya di Indonesia (Dedi Supriyadi, 2008: 122).
Dalam bidang keagamaan, di Spanyol saat itu juga hidup sufi terkenal, yaitu Abu Bakar Muhammad ibn Ali Muhyidin ibn Arabi. Dia dilahirkan di Murcia pada tahun 1165 M dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Seville sampai 1202 M dan wafat di Damaskus pada 1240 M. Di antara sekian banyak karyanya yang berpengaruh adalah al-Futuhat al-Makkiyah dan Fishush al-Hikam (Philip K. Hitti, 2013: 747-748).

5.        Bidang Musik dan Kesenian
Indikasi kemajuan bidang seni dan musik di Spanyol, ditandai dengan berdirinya sekolah music di Cordoba yang didirikan oleh Zaryab, seorang artis terbesar di zamannya. Zaryab adalah siswa sekolah musik Ishaq Al-Mausuli di Baghdad. Sekolah tersebut akhirnya menjadi model bagi sekolah musik lainnya yang bermunculan di Villa, Toledo, Valencia dan Granada (Dedi Supriyadi, 2008: 122).
Ziryab adalah seorang musisi yang pernah mengharumkan istana Harun Ar-Rasyid yang tidak hanya memperoleh popularitas sebagai artis, tetapi juga sebagai seorang ilmuan dan sastrawan. Ketenarannya itu menimbulkan kecemburuan dari gurunya yang sama-sama populer, Ishaq Al-Maushuli. Akhirnya Ziryab melarikan diri ke Afrika Barat Laut. Ziryab bersinar sebagai seorang penyair sekaligus astronom dan ahli geografi. Ziryab menjadi figur paling popular pada masa itu dan bahkan menjadi pencipta trend (Philip K. Hitti, 2013: 654).
Perkembangan seni musik di Spanyol, memberikan pengaruh yang cukup besar pada seni musik di kawasan Eropa. Ketika masyarakat Kristen menerima model lirik lagu muslim, nyanyian Arab menjadi populer di seluruh semenanjung Spanyol (Philip K. Hitti, 2013: 765).
Perkembangan sastra dan sya’ir modern mendorong juga pertumbuhan ilmu musik dan seni suara di Andalusia. Pada zaman Abd al-rahman II al-Awsath, Hasan Ibn Nafi’ (dikenal pula dengan nama Ziryab) tiba di Cordova. Keahliannya di bidang musik membekas hingga sekarang dan bahkan ia dianggap sebagai peletak dasar musik Spanyol modern. Sigrid Hunke dan Abd al-Mun’im Maguid menginformasikan bahwa ulama Arablah yang memperkenalkan not lagu: do-re-mi-fa-sol-la-si. Not itu diambil dari bunyi-bunyi huruf Arab (Jaih Mubarok, 2008: 137).
Dalam bidang seni kerajinan, umat Islam di Spanyol menyebarkan dan mengembangkan semua bidang seni dan kerajinan yang dikenal oleh umat Islam. Dalam bidang kerajinan logam, yang meliputi seni dekorasi, pengembangan pola-pola relief atau ukiran, kemudian melapisinya dengan emas dan perak serta penggambaran berbagai karakter. Salah satu peninggalan seni yang paling tua adalah gambar Hisyam V (976-1009 M) yang terdapat di atas altar tinggi di Katedral Gerona di atas bentuk peti mati kayu dilapisi sepuhan perak. Lukisan tersebut mengambil bentuk repouse dengan beberapa lengkungan berbentuk Spiral (Philip K. Hitti, 2013: 754).
Salah satu bidang seni yang cukup berkembang adalah seni porselen dan pelapisan logam. Impor produk-produk ini memberikan dasar yang baik bagi pengembangan industry porselen di Poitier. Dari Spanyol, kemudian industry tersebut diperkenalkan ke Italia. Dalam ragam bentuk karya seni porselen, khususnya keramik lantai dan faince biru, muslim Spanyol dikenal memiliki keistimewaan tersendiri (Philip K. Hitti, 2013: 755).
6.        Bidang Bahasa dan Sastra
Di antara tokoh bidang bahasa dan sastra yang lahir di Spanyol adalah Al-Qali, yang dikenal dengan karyanya Al-Kitab Al-Bari fil Al-Lughah dan Az-Zubaidy, seorang ahli tata bahasa dan filologi (Dedi Supriyadi, 2008: 121-122). Tokoh lainnya dalam bidang sastra dan bahasa sebagaimana disebut oleh Yatim dalam bukunya: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan ibn Usfur dan Abu Hayyan Al-Gharnathi (Badri Yatim, 2014: 103).
Dalam bidang sastra, penulis yang paling terkenal adalah Ibn Abd Rabbihi (860-940 M) dari Cordova yang merupakan penyair kesayangan Abdurrahman III. Tapi pujangga terbesar dan memiliki pemikiran murni dari kalangan muslim Spanyol adalah Ali ibn Hazm (994-1064 M), (Philip K. Hitti, 2013: 709). Selain itu, penyair terkenal lainnya adalah Abu al-Walid ibn Zaidun (1003-1071 M). Dia dianggap oleh beberapa orang sebagai penyair terbesar di Andalusia (Spanyol), (Philip K. Hitti, 2013: 712).
Seiring dengan perkembangan sastra yang pesat di Spanyol, karya-karya sastra-pun banyak bermunculan, di antaranya: Al-Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, Al-Dzakirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam dan kitab Al-Qalaid karya Al-Fath ibn Khaqan (Badri Yatim, 2014: 103). Puisi-puisi Arab memberikan kontribusi penting pada munculnya skema sastra yang tegas tentang cinta platonic dalam bahasa Spanyol pada awal abad ke-8.

7.        Bidang Pembangunan Fisik
Dalam bidang fisik, Spanyol Islam telah mendirikan bangunan-banguan dan berbagai fasilitas, seperti perpustakaan yang jumlahnya sangat banyak, gedung pertanian, jembatan-jembatan air, irigasi, roda air dan lain-lain. Istana-istana dan mesjid-mesjid besar yang megah serta tempat pemandian dan taman juga disatukan dalam kota yang tertata dengan teratur. Di Cordoba terdapat 700 mesjid dan 300 buah pemandian umum. Istana Raja Az-Zahra yang dibangun di kaki gunung dan menghadap sungai Quadalquiurr memiliki 400 buah ruangan. Di atas istana tersebut terdapat jembatan yang melintasi sungai dengan konstruksi lengkung sebagai penyangga (Dedi Supriyadi, 2008: 123). Karena air sungai tidak dapat diminum, penguasa muslim juga membuat saluran air dari pegunungan sepanjang 80 km (Badri Yatim, 2014: 105).
Kemegahan Islam Spanyol juga dapat dilihat di Granada. Kota ini mengambil tempat pada sebuah dataran tinggi yang tersubur dan termasyhur di Spanyol. Rio Darro mengalir membelah jantung kota ini. Rio Darro adalah sebuah kanal besar yang sangat panjang yang digali pada masa pemerintahan Bani Ahmar di Granada. Kanal ini digali mulai dari pegunungan Searra Nevada, yang membujur jauh di sebelah timur laut kota Granada. Puncaknya selalu diselimuti salju dan memutih bersih saat ditimpa sinar matahari (Merduati, 2007: 58).
Orang-orang Arab di Spanyol telah memperkenalkan hidrolik untuk tujuan irigasi; dam untuk mengecek curah air hujan dan waduk untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidrolik dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) yang berasal dari Persia (Badri Yatim, 2014: 104). Kaum Arab di Spanyol memperkenalkan metode pertanian yang dipraktikkan di Asia Barat. Mereka menggali kanal-kanal, menanam anggur dan tanaman lainnya. Mereka juga memperkenalkan padi, aprikot, persik, delima, jeruk, tebu, kapas dan kunyit. Kemajuan pertanian merupakan salah satu sisi keagungan peradaban Islam di Spanyol dan menjadi hadiah abadi yang diberikan oleh orang Arab di daratan Eropa tersebut (Philip K. Hitti, 2013: 671-672).
Produk-produk industri dan pertanian Spanyol Muslim lebih dari cukup untuk konsumsi domestik. Seville adalah satu pelabuhan besar yang mengekspor kapas, zaitun, minyak dan kain. Melalui Iskandariyah dan Konstantinopel produk-produk muslim Spanyol memperoleh pasarnya sampai jauh ke India dan Asia Tengah. Pemerintah Spanyol juga membuat lembaga mata uang dengan dinar sebagai satuan emas dan dirham sebagai satuan perak. Uang Arab digunakan di kerajaan-kerajaan Kristen di Utara yang hampir empat ratus tahun tidak memiliki mata uang, selain mata uang Arab dan Perancis (Philip K. Hitti, 2013: 673).
Semua monument karya seni religius di Spanyol telah musnah, kecuali satu yang paling tua dan paling indah, yaitu Mesjid Cordova. Sedangkan monument-monumen non religius seperti istana Alcazar di Seville dan Alhamra di Granada, dengan dekorasinya yang besar, megah dan indah merupakan contoh peninggalam paling agung di Spanyol (Philip K. Hitti, 2013: 758-759). Model dekorasi Spanyol muslim mencapai puncak kebesarannya pada bangunan istana Dinasti Nashiriyah, yaitu Al-Hamra. Sebagian besar dekorasi interior istana tersebut dipenuhi oleh kaligrafi . Bagian paling indah dan paling agung adalah istana singa. Di tengah-tengah istana tersebut terdapat dua belas patung singa yang terbuat dari Porselen dan tegak berdiri dalam lingkaran (Philip K. Hitti, 2013: 761).

C.    Runtuhnya Kerajaan Andalusia
Kekuasaan Islam di Spanyol telah banyak memberikan sumbangan yang tidak ternilai bagi peradaban dunia saat ini. Tetapi imperium yang begitu besar di daratan Eropa ini pada akhirnya juga mengalami nasib yang sangat memilukan (Dedi Supriyadi, 2008: 123-124).
Para penguasa muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna di Spanyol dan membiarkan penduduk Spanyol mempertahankan hukum dan adat mereka. Pemerintah Islam terlalu cepat merasa puas hanya dengan setoran upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen asalkan mereka tidak melakukan perlawanan bersenjata kepada pemerintah Islam (Badri Yatim, 2014: 107).
 
1.      Lemahnya Kekuasaan Bani Umayyah II dan Bangkitnya Kerajaan-Kerajaan Kecil di Andalusia
Masa kejayaan Islam di Spanyol dimulai pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Abdurrahman III dan dilanjutkan oleh puteranya, Hakam. Pada masa kedua penguasa tersebut, keadaan politik dan ekonomi di Spanyol mengalami puncak kejayaan dan kestabilan. Setelah Hakam II wafat, dia digantikan oleh Hisyam II yang pada saat itu baru berusia 11 tahun. Karena usia yang masih sangat muda, Hisyam II tidak mampu mengendalikan kekuasaan. Akhirnya roda pemerintahan dikendalikan oleh ibunya dengan bantuan Muhammad ibn Abi Umar yang dikenal dengan Hajib Al-Mansur, seorang yang haus kekuasaan. Akhirnya khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Setelah Hajib Al-Mansur wafat, dia digantikan oleh anaknya Abdul Malik Al-Muzaffar, kemudian Al-Muzaffar digantikan oleh Abdurrahman yang gemar berfoya-foya serta tidak disenangi oleh rakyat sehingga keadaan negara menjadi tidak stabil (Dedi Supriyadi, 2008: 124).
Pada tahun 1009 M, khalifah mengundurkan diri, kemudian beberapa orang mencoba untuk menduduki jabatan khalifah, tetapi tidak ada yang mampu memperbaiki keadaan di Spanyol. Akhirnya pada tahun 1013, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah sehingga Spanyol terpecah dalam banyak sekali kerajaan kecil yang menguasai kota-kota tertentu (Badri Yatim, 2014: 97).
Di sisi lain, munculnya Muluk Ath-Thawaif (dinasti-dinastin kecil) secara politis juga menjadi sebab kemunduran Islam di Spanyol. Melemahnya kekuasaan Islam di Spanyol, telah diketahui oleh orang-orang Kristen sehingga mereka bersiap-siap untuk menyerang pemerintahan Islam. Kerajaan Kristen Aragon berhasil Huesea pada tahun 1096 M, Saragosa (1118 M), Tyortosa (1148 M) dan Kenida pada tahun 1149 M. Pada tahun 1212 M, koalisi raja-raja Kristen berhasil menaklukkan Las Navas De Tolosa yang menyebabkan Dinasti Muwahhidun menarik diri dari Spanyol. Sebagian besar kota penting yang awalnya dikuasai oleh Islam, akhirnya satu per satu jatuh ke tangan pihak Kristen (Dedi Supriyadi, 2008: 125).
Pada pertengahan abad ke-13, satu-satunya kota penting yang masih dikuasai oleh Islam adalah Granada di bawah pimpinan Dinasti Ahmar. Pada awalnya, para penguasa Kristen membiarkan keberadaan Dinasti Ahmar dengan syarat membayar pajak kepada penguasa Kristen, tapi akhirnya di antara mereka terjadi perselisihan sehingga kekuasaan Dinasti Ahmar menjadi terancam. Selain itu, dalam tubuh Dinasti Ahmar sendiri juga terjadi perebutan kekuasaan yang mengakibatkan munculnya perang saudara. Akhirnya pada tahun 1492 M, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol dapat dikuasai oleh penguasa Kristen Spanyol (Dedi Supriyadi, 2008: 125).
Nasib umat Islam pasca penaklukan Granada oleh penguasa Kristen sangat menyedihkan. Pada tahun 1556 M, penguasa Kristen melarang pakaian Arab dan Islam di seluruh wilayah Spanyol, bahkan pada tahun 1566 M, penggunaan bahasa Arab dilarang di Spanyol (Dedi Supriyadi, 2008: 125-126).

2.      Timbulnya Semangat Orang-Orang Eropa Untuk Menguasai Kembali Andalusia
Setelah berhasil menaklukkan Spanyol, para penguasan muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna dengan membiarkan penduduk Spanyol memeluk agamanya serta diberi ruang untuk mempertahankan hukum dan tradisi mereka sendiri. Pemerintah Islam hanya mewajibkan membayar pajak kepada negara bagi penduduk Spanyol. Lambat laun, kondisi ini menjadi bumerang bagi pemerintah Islam, di mana penduduk Kristen Spanyol terus menyusun kekuatan untuk menggulingkan penguasa muslim (Dedi Supriyadi, 2008: 124).
Pada perkembangan selanjutnya, di Spanyol bermunculan beberapa kerajaan yang didirikan oleh orang-orang Kristen, di antaranya: Kerajaan Leon dan Castile, Kerajaan Navarre dan Kerajaan Aragon. Kemelut yang diciptakan oleh para penguasa Kristen ini juga menjadi pemicu melemahnya kekuasaan Islam di Spanyol. Para penguasa Kristen tersebut bermaksud ingin menguasai kembali Spanyol. 
Dikisahkan bahwa, kelompok orang-orang Katholik yang menolak kehadiran kaum muslimin di Spanyol melarikan diri ke perbatasan Spanyol bagian Utara yang merupakan kawasan pegunungan dan terdiri dari lembah dan gua sehingga cocok dijadikan sebagai tempat persembunyian. Mereka mengangkat Pelayo (718-747 M) sebagai pemimpin pertama di pengasingan yang semasa dengan amir Islam di Spanyol, Abdurrahman. Ibu kota kerajaan Katholik ini berada di Cangas de Onis dan kemudian dipindahkan ke Oviedo pada masa pemerintahan Alfonso II. Raja tersebesar Khatolik Spanyol adalah Alfonso III yang semasa dengan Muhammad bin Abdurrahman II, pemimpin Islam Andalusia (Spanyol), (Merduati, 2007: 17).
Ketika Garcia I (909-914 M) memerintah, ibu kota kekuasaan Katholik dipindahkan ke Leon. Ketika Ordono III (951-956 M) naik tahta, dia mengakui hegemoni kekhalifahan Islam di Spanyol yang saat itu dipimpin oleh Abdurrahman An-Nashir. Para penguasa Kristen pada saat itu membayar upeti kepada pemerintahan Islam (Merduati, 2007: 18). Pada abad ke-10, Kerajaan Kristen Navarre menampakkan kekuasaannya setelah berhasil merebut sebagian wilayah Arragon. Pada saat pemerintahan Sancho III Garces (1005-1035 M), dia menyatukan wilayah Navarre, Castile, Leon dan Sobrarbe di bawah kekuasaannya (Merduati, 2007: 18-19).
Kerajaan Kristen lainnya yang muncul di saat umat Islam Spanyol dalam keadaan lemah adalah Kerajaan Aragon pada tahun 1035 M. Kemudian pada tahun 1179 M, Alfonso dari Aragon membuat perjanjian dengan Kerajaan Castile untuk memberikan kesempatan kepada Kerajaan Aragon menghadapi Arab di Valencia (Merduati, 2007: 24-26). Perkembangan kerajaan Kristen Spanyol menjelang terusirnya umat Islam dari Semenanjung Iberia tersebut lebih banyak terlibat pergolakan politik dengan Perancis, Inggris, Portugal, Itali dan Sisilia (Merduati, 2007: 27). Pada perkembangan selanjutnya, Ferdinan II (1479-1516 M) dari Aragon mengawini Isabella dari Castile dan menggabungkan kedua kerajaannya menjadi satu. Gabungan dua kerajaan tersebut dikenal dengan Reyes Catolicos atau dalam bahasa Inggris disebut dengan Catholic Kings (Merduati, 2007: 29).
Setelah berhasil menaklukkan kekuasaan Islam di Spanyol, para penguasa Kristen melakukan pemaksaan kepada umat Islam di Spanyol untuk berpindah agama atau keluar dari Spanyol. Semua buku dan naskah-naskah berbahasa Arab dibakar oleh para penguasa Kristen.
Umat Islam yang tetap tinggal di Spanyol, banyak di antara mereka yang menjadi kripto-muslim, yaitu orang yang mengaku Kristen, tetapi secara diam-diam mempraktikkan ajaran Islam. Sebagian umat Islam yang pulang dari pesta pernikahan ala Kristen, kemudian secara diam-diam melakukan pernikahan kembali sesuai dengan ajaran Islam. Banyak pula umat Islam yang mengadopsi nama Kristen sebagai nama publik, tetapi menggunakan nama Arab secara pribadi (Phillip K. Hitti, 2003: 706-707).

D.    Penyebab Kehancuran dan Kemunduran Peradaban Islam di Andalusia
Dalam masa kekuasaan Islam di Spanyol yang begitu lama tentu memberikan catatan besar dalam mengembangkan dan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi peradaban dunia. Namun, sejarah panjang yang telah diukir kaum muslim menuai kemunduran dan kehancuran. Kemunduran dan kehancuran disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1.      Konflik Islam dengan Kristen
Keadaan ini berawal dari kurang maksimalnya para penguasa muslim di Andalusia dalam melakukan proses Islamisasi. Hal ini mulai terlihat ketika masa kekuasaan setelah al-Hakam II yang dinilai tidak secakap dari khalifah sebelumnya. Bagi para penguasa, dengan ketundukan kerajaan-kerajaan kristen dibawah kekuasaan kristen hanya dengan membayar upeti saja, sudah cukup puas bagi mereka. Mereka membiarkan umat Kristen menganut agamanya dan menjalankan hukum adat dan tradisi kristen, termasuk hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan senjata (Badri Yatim, 2014: 107).
Namun, kehadiran Arab Islam tetap dianggap sebagai penjajah sehingga malah memperkuat nasionalisme masyarakat Spanyol Kristen. Hal ini menjadi salah satu penyebab kehidupan negara Islam di Andalusia tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen. Akhirnya pada abad ke-11, umat Islam Andalusia mengalami kemunduran, sedang umat Kristen memperoleh kemajuan pesat dalam bidang IPTEK dan strategi perang (Badri Yatim, 2014: 107).
Pada tahun 1212 M, umat Kristen mengadakan serangan besar-besaran ke Spanyol dengan mengatasnamakan perang suci di Eropa. Mereka dapat menghimpun bantuan sukarelawan yang terdiri dari orang-orang Perancis, Jerman, Inggris dan Itali. Serangan tersebut dihadapi oleh pasukan Khalifah Al-Mansur Billah bersama 600.000 tentara di Las Navas de Toloso, sekitar 70 mil sebelah timur Cordova. Pada saat itu pasukan Kristen dipimpin oleh Raja Castile, Alfonso VIII. Dalam pertempuran tersebut pasukan Kristen dapat mengalahkan pasukan Islam dan menyebabkan berkahirnya kekuasaan Al-Muwahhidun di Spanyol (M. Abdul Karim, 2009: 248).
Karim menyebutkan bahwa, kemunduran dan kehancuran Islam di Andalusia disebabkan oleh para penguasa Islam yang cukup puas menerima upeti dari penguasa Kristen dan tidak melakukan Islamisasi secara sempurna di Spanyol. Sementara kehadiran bangsa Arab di Spanyol menimbulkan rasa iri bagi penduduk Kristen dan kondisi ini turut membangkitkan rasa kebangsaan umat Kristen di Spanyol. Selain itu, loyalitas militer Islam sebagai tentara bayaran juga sangat diragukan. Di sisi lain, etnis-etnis non Arab di Spanyol juga sering menjadi perusak perdamaian (M. Abdul Karim, 2009: 250).

2.      Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Hal ini terjadi hingga abad ke-10 atas perlakuan para penguasa muslim sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah terhadap para mu’allaf yang berasal dari umat setempat. Mereka diperlakukan tidak sama seperti tempat-tempat daerah taklukan Islam lainnya. Kenyataan ini ditandai dengan masih diberlakukannya istilah ibad dan muwalladun, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.
Akhirnya kelompok-kelompok etnis non-Arab terutama etnis Salvia dan Barbar, sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal ini menimbulkan dampak besar bagi perkembangan sosio-ekonomi di Andalusia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada ieologi pemersatu yang mengikat kebangsaan mereka. Bahkan banyak diantara mereka yang berusaha menghidupkan kembali fanatisme kesukuan guna mengalahkan Bani Umayyah (Badri Yatim, 2014: 107).

3.      Kesulitan Ekonomi
Dalam catatan sejarah, pada paruh kedua masa Islam di Andalusia, para penguasa begitu aktif mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga mengabaikan pengembangan perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang memberatkan dan berpengaruh bagi perkembangan politik dan militer. Kenyataan ini diperparah lagi dengan datangnya musim paceklik dan membuat para petani tidak mampu membayar pajak. Selain itu, penggunaan keuangan negara tidak terkendali oleh para penguasa muslim (Badri Yatim, 2014: 108).

4.      Tidak Jelasnya Sistem Peralihan kekuasaan
Kekuasaan merupakan hal yang menjadi perebutan diantara ahli waris. Karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk al-Thawaif muncul. Maka, Granada yang awalnya menjadi pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol akhirnya jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella (Badri Yatim, 2014: 108).
5.      Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan negeri terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Oleh karena itu, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen disana (Badri Yatim, 2014: 107).


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Andalusia, sebuah negeri yang meninggalkan jejak begitu besar di sepanjang sejarah umat Islam pada awal perkembangan Islam di dunia Eropa. Tentu hal ini menyita banyak perhatian besar dari berbagai khalayak umat Islam. Dikatakan demikian, karena penguasaan Islam terhadap semenanjung Iberia lebih khusus Andalusia, telah menunjukkan bahwa Islam telah tersebar ke negara Eropa.
Mulai dari tahapan awal proses masuknya Islam, dimana wilayah Spanyol diduduki oleh khalifah-khalifah dalam setiap dinasti-dinasti yang didirikan dalam setiap periodenya. Tentu, hal ini banyak memiliki peranan yang sangat penting dan besar dalam perkembangan umat Islam. Dimana  pada akhirnya Islam pernah berjaya di Spanyol dan berkuasa selama tujuh setengah abad. Suatu masa kekuasaan dalam waktu yang sangat lama untuk mengembangkan Islam.
Namun, di balik usaha keras umat Islam mempertahankan kejayaan pada masa sekian abad itu, umat Islam menghadapi kesulitan yang amat berat. Dimana pada suatu ketika, umat Islam diterpa serangan-serangan penguasa Kristen yang sampai-sampai umat Islam tidak kuasa menahan serangan-serangan penguasa Kristen yang semakin kuat itu. Sehingga pada akhirnya Islam menyerahkan kekuasaannya dan semenjak itu berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol.
Demikianlah Islam di Andalusia, walaupun pada akhirnya berakhir dengan kekalahan, namun islam muncul sebagai suatu kekuatan budaya dan sekaligus menghasilkan cabang-cabang kebudayaan dalam segala ragam dan jenisnya. Banyak sekali kontribusi Islam bagi kebangunan peradaban dan kebudayaan baru Barat. Sumbangan Islam itu  telah menjadi dasar kemajuan Barat terutama dalam bidang-bidang politik, ekonomi, sains dan teknologi, astronomi, filsafat, kedokteran, sastra, sejarah dan hukum.
B.     Saran
Demikian makalah yang penulis buat, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis memohon maaf atas segala salah dan kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan semoga makalah ini bisa menjadi referensi bagi penulisan lain dan dapat memberi sumbangsih bagi khazanah ilmu pengetahuan. Segala bentuk saran dan kritik para pembaca akan penulis terima dengan senang hati untuk perbaikan penulisan selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2006. Ibn Rusyd; Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam. Jakarta: Erlangga.
Al-Fahmy, Nurjamil. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ciamis: Darussalam.
Hitti, Philip K. (terjemah: Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi). 2013. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Karim, M. Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Merduati. 2007. Runtuhnya Kekuasaan Islam di Spanyol dan Implikasinya Terhadap Umat Islam di Eropa. Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Misbah, Ma’ruf., dkk. 1996. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV. Wicaksana.
Mubarok, Jaih. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Islamika.
Nizar, Samsul. 2009. Sejarah Pendidikan Islam “Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar