SEJARAH CIAMIS
Menurut
sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan) Galuh,
yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang). Selanjutnya W.J Van
der Meulen berpendapat bahwa kata "galuh", berasal dari kata "sakaloh"
berarti "dari sungai asalnya", dan dalam lidah Banyumas menjadi
"segaluh". Dalam Bahasa Sansekerta, kata "galu" menunjukkan sejenis
permata, dan juga biasa dipergunakan untuk menyebut puteri raja (yang
sedang memerintah) dan belum menikah.
Sebagaimana riwayat
kota-kabupaten lain di Jawa Barat, sumber-sumber yang menceritakan
asal-usul suatu daerah pada umumnya tergolong historiografi tradisional
yang mengandung unsur-unsur mitos, dongeng atau legenda disamping
unsur yang bersifat historis. Naskah-naskah ini antara lain Carios
Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, Wawacan Sajarah Galuh, dan juga naskah
Sejarah Galuh bareng Galunggung, Ciung Wanara, Carita Waruga Guru,
Sajarah Bogor. Naskah-naskah ini umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga
abad ke-19. Adapula naskah-naskah yang sezaman atau lebih mendekati
zaman Kerajaan Galuh. Naskah-naskah tersebut, diantaranya Sanghyang
Siksakanda ÔNg Karesian, ditulis tahun 1518, ketika Kerajaan Sunda
masih ada dan Carita Parahyangan, ditulis tahun 1580.
Berdirinya Galuh
sebagai kerajaan, menurut naskah-naskah kelompok pertama tidak
terlepas dari tokoh Ratu Galuh sebagai Ratu Pertama. Dalam laporan yang
ditulis Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat berbagai nama
kerajaan sebagai berikut: Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain,
Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang
Gili (tahun 78 Masehi?); Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes
dengan ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon berlokasi di Roban
beribukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean berlokasi di Cilacap
beribukota di Medang Kamulan; Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari
beribukota Banjar Pataruman; Galuh Kalingga berlokasi di Bojong
beribukota Karangkamulyan; Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung
beribukota Bagolo; Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di
Medangkamulyan; Galuh Pakuan beribukota di Kawali; Pajajaran berlokasi
di Bogor beribukota Pakuan; Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah
beribukota Pataka; Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam
beribukota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung; Kabupaten Galuh
Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara dan
Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis (sejak tahun 1812).
Untuk
penelitian secara historis, kapan Kerajaan Galuh didirikan, dapat
dilacak dari sumber-sumber sezaman berupa prasasti. Ada prasasti yang
memuat nama "Galuh", meskipun nama tanpa disertai penjelasan tentang
lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, Raja Balitung
disebut sebagai "Rakai Galuh". Dalam Prasasti Siman berangka tahun 943,
disebutkan bahwa "kadatwan rahyangta I mdang I bhumi mataram ingwatu
galuh". Kemudian dalam sebuah Piagam Calcutta disebutkan bahwa para
musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan Barat, mereka dimusnahkan
pada tahun 1031 Masehi. Dalam beberapa prasasti di Jawa Timur dan dalam
Kitab Pararaton (diperkirakan ditulis pada abad ke-15), disebutkan
sebuah tempat bernama "Hujung Galuh" yang terletak di tepi sungai
Brantas. Nama Galuh sebagai ibukota disebut berkali-kali dalam naskah
sebuah prasasti berangka tahun 732, ditemukan di halaman Percandian
Gunung Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang).
Pada bagian
carita Parahyangan, disebutkan bahwa Prabu Maharaja berkedudukan di
Kawali. Setelah menjadi raja selama tujuh tahun, pergi ke Jawa
terjadilah perang di Majapahit. Dari sumber lain diketahui bahwa Prabu
Hayam Wuruk, yang baru naik tahta pada tahun 1350, meminta Puteri Prabu
Maharaja untuk menjadi isterinya. Hanya saja, konon, Patih Gajah Mada
menghendaki Puteri itu menjadi upeti. Raja Sunda tidak menerima sikap
arogan Majapahit ini dan memilih berperang hingga gugur dalam
peperangan di Bubat. Puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana waktu
itu masih kecil. Oleh karena itu kerajaan dipegang Hyang Bunisora
beberapa waktu sebelum akhirnya diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana
ketika sudah dewasa. Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana, dapat
diperjelas dengan bukti berupa Prasasti Kawali dan Prasasti Batutulis
serta Kebantenan.
Pada tahun
1595, Galuh jatuh ke tangan Senapati dari Mataram. Invasi Mataram ke
Galuh semakin diperkuat pada masa Sultan Agung. Penguasa Galuh, Adipati
Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dan cacah sebanyak 960
orang. Ketika Mataram merencanakan serangan terhadap VOC di Batavia
pada tahun 1628, massa Mataram di Priangan bersilang pendapat. Rangga
Gempol I dari Sumedang misalnya, menginginkan pertahanan diperkuat
dahulu, sedangkan Dipati Ukur dari Tatar Ukur, menginginkan serangan
segera dilakukan. Pertentangan terjadi juga di Galuh antara Adipati
Panaekan dengan adik iparnya Dipati Kertabumi, Bupati di Bojonglopang,
anak Prabu Dimuntur keturunan Geusan Ulun dari Sumedang. Dalam
perselisihan tersebut Adipati Panaekan terbunuh tahun 1625. Ia kemudian
diganti puteranya Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di
Garatengah (Cineam sekarang).
Pada
masa Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari
Garatengah (Cineam) ke Calingcing. Tetapi tidak lama kemudian
dipindahkan ke Bendanagara (Panyingkiran). Pada Tahun 1693, Bupati
Sutadinata diangkat VOC sebagai Bupati Galuh menggantikan Angganaya.
Pada tahun 1706, ia digantikan pula oleh Kusumadinata I (1706-1727).
Pada pertengahan
abad ke-19, yaitu pada masa pemerintahan R.A.A. Kusumadiningrat
menjadi Bupati Galuh, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya
melaksanakan tanam paksa. Rakyat yang ada di Wilayah Galuh, disamping
dipaksa menanam kopi juga menanam nila. Untuk meringankan beban yang
harus ditanggung rakyat, R.A.A. Kusumadiningrat yang dikenal sebagai
"Kangjeng Perbu" oleh rakyatnya, membangun saluran air dan dam-dam
untuk mengairi daerah pesawahan. Sejak Tahun 1853, Kangjeng Perbu
tinggal di kediaman yang dinamai Keraton Selagangga.
Antara tahun
1859-1877, dilakukan pembangunan gedung di ibu kota kabupaten.
Disamping itu perhatiannya terhadap pendidikan pun sangat besar pula.
Kangjeng Perbu memerintah hingga tahun 1886, dan jabatannya diwariskan
kepada puteranya yaitu Raden Adipati Aria Kusumasubrata.
Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan ke Keresidenan Priangan, dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis.
Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan ke Keresidenan Priangan, dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis.
KONDISI GEOGRAFIS
Kabupaten Ciamis terletak di bagian timur propinsi Jawa Barat berada pada 1080 20 - 1080 40 BT dan 7¡ 40 20' - 7¡ 41 20" LS.
BATAS WILAYAH
| ||||||||||||
|
| |
|
Visi | |
|
| |
Misi yang diemban Kabupaten Ciamis adalah sebagai berikut: | |
1. | Menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam agribisnis dan pariwisata. |
2. | Mengembangkan jiwa kewirausahaan aparatur pemerintah dan masyarakat. |
3. | Mengembangkan jaringan kemitraan agribisnis dan pariwisata. |
4. | Meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian serta penyelenggaraan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan. |
5. | Menyelenggarakan pemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memanfaatkan potensi sumber daya alam secara optimal dan lestari serta menegakkan supremasi hukum. |
Lambang Kabupaten Ciamis di sebuah Monumen Perbatasan
ASTANA GEDE KAWALI
Kita semua, tentu sudah mengetahui
peninggalan purbakala yang terletak di Astana Gede Kawali. Ada pendapat
mengatakan bahwa Astana Gede Kawali pada jaman dahulu merupakan tempat
pemujaan atau disebut juga Bale Kabuyutan. Hal ini mungkin dapat kita
lihat dari adanya tinggalan budaya seperti menhir, lingga dan yoni. Di
samping itu terdapat pula beberapa pepatah dan petunjuk.
Sebagai pusat pemerintahan, raja-raja
yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa,
yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding, kemudian Prabu
Ragamulya atau aki kolot, setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada
peristiwa bubat, Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan
beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang
Wastukancana.
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala
ini tepatnya berada di sebelah utara atau 27 km dari ibukota Kabupaten
Ciamis, yakni di Dusun Indrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis.
Apabila ditempuh dengan kendaraan motor ataupun mobil lamanya sekitar
(45) empat puluh lima menit. Keadaan jalan cukup baik karena sudah
mengalami pengaspalan, sehingga tidak sulit dijangkau.
Luas area lokasi peninggalan purbakala
ini adalah 5 Ha, disekelilingnya rimbun dengan pepohonan. Keadaan
alamnya cukup nyaman dan sejuk sehingga memberi kesan menyenangkan
kepada setiap pengunjung.
Letaknya berada di kaki Gunung Sawal
disebelah selatannya sungai Cibulan, yang mengalir dari barat ke timur,
di sebelah timur berupa parit kecil dari sungai Cimuntur yang mengalir
dari Utara ke Selatan, sebelah Utara Sungai Cikadondong dan sebelah
Barat Sungai Cigarunggang. Keadaan lingkungan situs ini merupakan hutan
lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan tanaman keras
diantaranya termasuk familia Meliceae, Lacocarpaceae, Euphorbiaceae,
Sapidanceae dan lain-lain, juga tanaman Palawija, Rotan, Salak, Padi,
Cengkih dan lain-lain.
Menurut temuan arkeologi, bila dilihat
dari tinggalan budaya yang ada di kawasan Astana Gede Kawali merupakan
kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah, klasik dan
periode Islam
Bentuk transformasi budaya yang terjadi
diperkirakan mulai dari tradisi megalitik yang ditandai dengan adanya
temuan punden berundak, lumpang batu, menhir, kemudian berlanjut secara
berangsur-angsur ke tradisi budaya sejarah (klasik) yang ditandai dengan
adanya prasasti, kemudian berlanjut ke tradisi Islam yang ditandai
dengan adanya makam kuna. Dengan demikian kawasan Astana Gede merupakan
kawasan yang menarik untuk dikunjungi.
Benda-benda Cagar Budaya yang ada di
Astana Gede Kawali itu terdiri atas, punden berundak, menhir, prasasti,
makam kuna, dan lain-lain. Juga mata air Cikawali yang tidak pernah
kering sepanjang tahun.
Benda-benda peninggalan sejarah dan
purbakala sebagai warisan budaya ini memiliki peran yang penting dan
berfungsi sebagai, bukti-bukti sejarah dan budaya, sumber-sumber sejarah
dan budaya, obyek ilmu pengetahuan sejarah dan budaya, cermin sejarah
dan budaya, media untuk pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya,
media pendidikan budaya bangsa sepanjang masa, media untuk memupukan
kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan ketahanan nasional, dan
sebagai obyek wisata budaya.
CIUNG WANARA
Bojong Galuh Karangkamulyan adalah sebuah
nama yang cukup akrab untuk masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis.
Dikatakan akrab karena nama ini merupakan sebuah kawasan yang berupa
hutan lindung yang mengandung berbagai kisah yang berhubungan dengan
kerajaan pada jaman dahulu. Masyarakat menganggap bahwa kawasan ini
merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Galuh yang diperintah oleh
Permanadikusumah dan putranya yang bernama Ciung Wanara. Dengan demikian
muncullah sebuah cerita rakyat yang telah turun temurun sejak dahulu
yaitu cerita tentang ihwal Kerajaan Galuh yang diperintah oleh
Permanadikusumah serta penerusny yaitu Ciung Wanara, yang dibumbui
dengan hal yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak
dimiliki orang biasa. Hal ini dimaksudkan hanyalah untuk mengagungkan
seorang raja yang mungkin dalam visi mereka raja adalah segala-galanya,
istimewa dan terlepas dari segala kekurangan yang menjadikannya
berpredikat sebagai raja.
Bila kita telusuri lebih jauh kawasan
yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang
diduga mengandung sejarah seperti batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah
berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada
dalam sebuah tempat berupa struktrur bangunan terbuat dari tumpukan batu
yang bentunya hampir sama. Struktur bangunan itu memiliki sebuah pintu
sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada dalam struktur
bangunan itu memiliki nama dan kisah, begitu pula beberapa lokasi lain
yang terdapat didalamnya yang berada diluar struktur batu. Nama batu
merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah/cerita
rakyat tentang Kerajaan Galuh seperti; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, dikatakan lambang peribadatan mungkin karena bentuknya menyerupai sebuah stupa, panyandaan atau tempat melahirkan, berupa batu yang berdiri tegak lurus serta memanjang sehingga menyerupai tempat duduk yang ada sandarannya, pengaduan ayam yang merupakan sebuah lokasi yang berupa dataran yang dikelilingi struktur bangunan, Sanghyang bedil, juga merupakan sebuah tempat yang dikelilingi oleh struktur bangunan, kemudian sebuah mata air yang di sebut Cikahuripan yang letaknya di sebelah dalam kawasan hutan lindung yang dikelilingi oleh rimbunnya pepohonan.
Masyarakat masih banyak yang menganggap
bahwa tempat ini mengandung keramat, mereka masih berpegang pada mitos
yang cukup kuat tentang Ciung Wanara dan Permanadikusumah, sehingga
banyak orang datang ke tempat ini dengan tujuan untuk mencari berkah.
Adanya cerita rakyat yang dihubungkan
dengan benda-benda yang ada di kawasan Bojong Galuh Karangkamulyan ini
telah membudaya di Kabupaten Ciamis, hampir semua orang mengetahui kisah
Ciung Wanara serta batu-batu yang telah diberi nama itu merupakan
tempat kegiatan pada masa Kerajaan Galuh, sehingga apabila kita
bertanya kepada masyarakat mengenai tempat ini tanpa ragu-ragu mereka
akan menjawab bahwa tempat ini merupakan peninggalan pada masa Kerajaan
Galuh.
Keberadaan tempat ini dapat kita lihat
dari tiga sudut pandang bila dihubungkan dengan kedudukannya dengan
waktu sekarang ini. Pertama dari sudut pandang sejarah, kedua cerita
rakyat, ketiga sebagai obyek wisata.
Bila kita tinjau dari sudut pandang
sejarah, memang kita tidak bisa menolak bahwa Kerajaan Galuh itu pernah
ada serta nama yang disebutkan seperti tokoh Permanadikusumah dan Ciung
Wanara itu adalah seorang raja yang memerintah pada masa Kerajaan Galuh
sekitar abad ke-8 Masehi. Begitu pula mengenai tempat, hal ini mungkin
saja terjadi bahwa tempat ini merupakan bekas Kerajaan Galuh, seperti
Lakbok juga daerah Cibeureum yang ada di Tasikmalaya, hal ini mungkin
saja terjadi karena kerajaan pada jaman dahulu sering berpindah-pindah.
Sudut pandang kedua adalah cerita rakyat
yang telah lama turun temurun. Hal ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat di Kabupaten Ciamis sebagai kekayaan budaya
yang keberadaannya tidak terlepas dari berbagai mitos yang dihubungkan
dengan yang sekarang ini disebut sebagai situs yaitu tempat yang diduga
mengandung sejarah.
Sudut pandang ketiga adalah kedudukan
situs Bojong Galuh Karangkamulyan ini adalah sebagai obyek wisata,
sesuai dengan sebutan sebagai obyek wisata, tempat ini banyak dikunjungi
sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan, karena tempatnya sejuk dan
nyaman serta letaknya sangat strategis, yaitu berada di jalur jalan raya
yang menghubungkan Ciamis dengan Banjar. Disamping itu, tempat ini
dilewati oleh kendaraan menuju tempat yang lebih jauh lagi seperti Jawa
Tengah, karena merupakan jalan protokol. Untuk lebih jelasnya dapat kita
lihat pada penjelasan selanjutnya yang akan diuraikan di muka.
Raden Aria Koesoemadininggrat, regent (bupati) Galuh (1879)
Kerajaan Galuh dalam Sejarah
Kerajaan Galuh pertama kali didirikan
oleh Wrettikandayun pada abad ke-6 Masehi, akan tetapi belum ada
keterangan yang pasti mengenai letak Kerajaan Galuh tersebut, namun ada
beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh berpusat di
Cibeureum, yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya
tepatnya di Desa Cibeureum Kecamatan Manonjaya. Sementara itu pendapat
lain mengemukakan pula bahwa pusat Kerajaan Galuh terletak di Desa
Citapen Kecamatan Rajadesa Kabupeten Ciamis. Ditempat ini ditemukan
sebuah peninggalan purbakala berupa dinding batu yang cukup tinggi
berada di sebuah tebing di pinggir kali sungai Cijolang. Pada dinding
batu tersebut terdapat beberapa catatan berupa garis-garis berupa sebuah
sandi, namun sampai saat ini belum diketahui apa maksud coretan
tersebut. Ada lagi pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh
berpusat di Purbaratu, kemudian di Lakbok dan Karangkamulyan, yang
kesemuanya memiliki peninggalan purbakala.
Wrettikandayun gemar menimba ilmu pengetahuan, ia diwarisi kitab yang disebut Sanghiang Watangageung
oleh ayahnya. Kemudian ia bersama ayahnya yakni Kandiawan dan dua orang
adiknya yang bernama Sandang Gerba dan Katungmaralah, membuat sebuah
kitab yang diberi nama Sanghiang Sasanakerta.
Pada masa Wrettikandayun, Kerajaan Galuh
berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum. Setelah 90 tahun
memerintah, Wrettikandayun mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia
menjadi Raja Resi di Mendala Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan
Rahiangtarimenir.
Setelah Wrettikandayun wafat, tahta
kerajaan tidak diteruskan oleh putra sulungnya karena putra sulung
tersebut memiliki cacat tubuh yaitu giginya tanggal, oleh karena itu
maka dinamai Sempak Waja. Disamping memiliki cacat tubuh, Sempakjaya
memiliki wajah yang kurang bagus, kemudian ia di jodohkan dengan Pwah
Rababu yang berasal dari daerah Kendan. Dalam perkawinannya pun Sempak
Waja memiliki cacat, atau tidak memiliki jalan mulus, sebab terjadi
peristiwa yang memalukan yakni, adanya hubungan gelap antara istrinya
dengan adiknya sendiri yang bernama Mandiminyak. Hubungan gelap itu
bermula dari adanya acara perjamuan makan di Galuh yang di sebut utsawakarma.
Putra kedua Wrettikandayun yang bernama
Jantaka, juga tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja, sebab ia pun
memiliki cacat tubuh yaitu kemir. Tidak diperoleh keterangan dengan
siapa Jantaka menikah, tetapi ia mempunyai keturunan bernama Bimaraksa
atau terkenal dengan sebutan Balangantrang.
Putra ketiga dari Wrettikandayun
merupakan orang yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan raja,
sebab tidak memiliki cacat tubuh. Ia adalah Mandiminyak.
Kerajaan Galuh Pada Masa Mandiminyak
Mandiminyak atau disebut juga Amara,
memerintah di Galuh dari tahun 702 – 709 masehi. Ia memerintah dalam
usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang
penguasa dari Kalingga. Dari perkawinannya dengan Dewi Parwati,
Mandiminyak dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama putri
Sannaha. Dengan demikian Mandiminyak telah mempunyai dua orang anak.
Anak pertama bernama Bratsenawa sebagai hasil hubungan gelap dengan Pwah
Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakjaya.. Kedua
kakak beradik yang berbeda ibu tersebut, kemudian dijodohkan karena pada
waktu itu adat mereka membolehkannya. Perkawinan itu terkenal dengan
sebutan Perkawinan Manu, yaitu menikah dengan saudara sendiri. Mandiminyak bersama istrinya menjadi penguasa Kalingga Utara sejak tahun 674-702 Masehi.
Kerajaan Galuh Pada Masa Bratasenawa
Ranghiangtang Bratasenawa atau Sang Sena
memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Dari
perkawinannya dengan Dewi Sannaha ia dikaruniai seorang anak yang diberi
nama Sanjaya. Sang Sena terlahir dari hubungan terlarang antara
Mandiminyak dan Pwah Rababu, oleh sebab itui kedudukannya di Galuh
kurang disukai oleh kalangan pembesar Galuh. Sang Sena pun menyadari
kalau kedudukannya kurang disukai karena latar belakang dirinya dari
keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk dalam kekuasaannya.
Pada tahun 716 Masehi terjadilah
perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan
kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak
kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wirata.
Dalam perebutan kekuasaan itu pasukan Galuh terpecah menjadi dua bagian,
pertama sebagai pendukung Bratasena dan kedua sebagai pendukung
Purbasora. Akan tetapi pasukan yang memihak kepada Bratasena atau Sang
Sena tidaklah sekuat pasukan yang memihak kepada Purbasora sehingga
pasukan Sang Sena dapat segera dikalahkan.
Kerajaan Galuh Pada Masa Purbasora
Rahyang Purbasora menjadi penguasa di
Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun.
Dari perkawinannnya dengan Citra Kirana Putri Padma Hadiwangsa Raja
Indraprahasta ke-13, ia dikaruniai anak bernama Wijaya Kusuma yang
menjadi Patih di Saung Galah.
Rahiang tidak lama memerintah di Galuh,
setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan
kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sa njaya adalah anak dari
Bratasenawa atau Sang Sena. Penyerbuan dilakukan pada malam hari dengan
markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh
Purbasora serta membunuh seluruh penghuni Keraton Galuh.
Kerajaan Galuh Pada Masa Sanjaya
Sanjaya atau Rakaian Jamri atau disebut
juga Harisdharama Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajisatru Yudhapurna
Jaya anak dari perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha. Ia
menikah dengan Teja Kancana Hayupurnawangi cucu Prabu Tarusbawa pendiri
Kerajaan sunda. Perkawinan kedua dengan putri sudiwara putra dari
Narayana atau Prabu Iswara penguasa Kalingga Selatan.
Sanjaya berkuasa di Galuh dari tahun
723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para
pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya.
Setelah melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang
Kerajaan Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai
akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya.
Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya
menemui Sempak Waja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang
oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu,
hal ini terjadi mungkin karena Demunawan tidak rela kalau Kerajaan Galuh
menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung,
Sanjaya tidak berani bersikap keras, karena ia telah mendapat tekanan
keras dari ayahnya sendiri, Sang Sena, yang telah berkali-kali
mengingatkan agar Sanjaya tetap bersikap hormat kepada Sempak Waja dan
Demunawan.
Ketika Sanjaya telah berhasil menundukkan
raja-raja di pulau Jawa Swarna bumi dan Cina, ia kembali ke Galuh untuk
mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya,
Demunawan, Sang Iswara dan para pembesar kerajaan serta para pembesar
kerajaan serta Duta Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat
itu Sempak Waja telah meninggal dunia. Hasil perundingan itu meneapkan
bahwa:
Keterangan I :
- Negara Sunda wilayah sebelah Barat Citarum diserahkan kepada keturunan Prabu Tarusbawa.
- Galuh Pakuan dan Saung Galah diserahkan kepada Sri Demunawan.
- Medang di Bumi Mataram diserahkan kepada Sanjaya.
- Jawa timur diserahkan kepada Prabu Iswara.
Keterangan II :
- Sanjaya akan memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya.
- Galuh dan Sunda diserahkan kepada Tamperan.
- Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja diserahkan kepada Saung Galah dibawah kekuasaan Resi Demunawan.
- Daerah sebelah Timur Paralor dan cilotiran menjadi daerah kekuasaan Iswara Narayana adik Parwati Putra Maharani Sima.
Dengan demikian maka pulau jawa terbagi
atas empat bagian pemerintahan. Sanjaya yang disebut juga Rakaian Jamri
sekaligus menjadi penguasa kerajaan Galuh, Sunda, dan Kalingga,
menyadari bahwa kedudukannya sebagai penguasa di Galuh tidak disukai
oleh orang-orang Galuh, oleh sebab itu dicari figur yang cocok untuk
dijadikan penguasa di Galuh. Akhirnya Sanjaya menemukan figur yang
dianggapnya cocok untuk memerintah di Galuh yaitu Adimulya
Permanadikusuma Cucu dari Purbasora.
Kerajaan Galuh Pada Masa Adimulya Permanadikusuma
Nama Adimulya Permanadikusuma atau
disebut juga Bagawat Sajala-jala atau Ajar sukaresi, telah dikenal cukup
akrab di telinga masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis terutama yang
tinggal di daerah Bojong Galuh Karangkamulyan sekarang ini, karena
tempat ini diduga sebagai bekas peninggalan Kerajaan Galuh pada masa
pemerintahan Adimulya Permanadikusuma. Menurut sejarahnya, Adimulya
Permanadikusumah adalah putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saung
Galah (Kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan.
Ratu Adimulya Permanadilusuma lahir pada
tahun 683 Masehi. Ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena. Sanjaya
mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud
untuk menghilangkan ketidaksimpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya
terutama keturunan Batara Sempak Waja dan Resi guru Jantaka..
Untuk memperkuat kedudukannya, Sanjaya
membuat suatu strategi dengan cara menjodohkan Adimulya Permanadikusuma
dengan putri Patih Anggada dari Kerajaan Sunda bernama Pangrenyep,
masih saudara sepupu istri Sanjaya. Saat anak pertamanya yang bernama
Ciung Wanara baru berumur lima tahun, ia melakukan tapa, karena merasa
bingung dalam memerintah sebab Kerajaan Galuh harus tunduk kepada
Kerajaan Sunda.
Pada waktu Adimulya Permanadikusuma
bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang
jabatannya sebagai patih galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik,
ia menghianati Prabu Adimulya Permanadikusuma, dengan cara berbuat
skandal/tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang menjadi istri kedua Prabu
Adimulya Permanadikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari
semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah
seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga atau disebut juga
Kamarasa. Tamperan membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk
membunuh Prabu Adimulya Permanadikusumah yang sedang bertapa di
Gunung Padang. Maka terbunuhlah Prabu Adimulya Permanadikusuma oleh
orang suruhan Tamperan.
Kerajaan Galuh Pada Masa Tamperan
Tamperan menikah dengan Pangrenyep ketika
sedang mengandung sembilan bulan. Namun tidak lama kemudian, ia
menikahi Naganingrum yang statusnya sebagai istri kedua.
Sementara itu Ciung Wanara, putra dari
Prabu Adimulya Permanadikusuma dan Dewi Naganingrum setelah ibunya
menikah kembali, ia melarikan diri ke Geger Sunten untuk menemui
Balangantrang. Ia menetap di Geger Sunten sampai usianya dewasa. Ciung
Wanara mengetahui rahasia negara, karena diberitahu oleh Balangantrang.
Ia dipersiapkan oleh Balangantrang untuk merebut kembali Kerajaan Galuh
yang menjadi haknya dan menuntut balas pati atas kematian ayahnya.
Ketika Ciung Wanara berusia 22 tahun,
tepatnya tahun 739 Masehi, Ciung Wanara bersama pasukannya dari Geger
Sunten, ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya
Permanadikusuma, menyerang kerajaan Galuh. Penyerangan itu dilakukan
ketika sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Ciung
Wanara ikut serta menyabungkan ayamnya.
Dalam penyerangan itu Tamperan dan
Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi Banga yang pada waktu itu
dibiarkan, berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan
itu melarikan diri. Pelarian itu menuju ke arah Barat. Ciung Wanara
sangat gusar ketika mendengar tawanannya melarikan diri. Kemudian ia
menyerang Rahyang Banga, maka terjadilah perkelahian di antara
keduanya. Sementara itu pasukan pengejar kedua tawanan takut kemalaman ,
dan takut kehilangan buruannya, kemudian mereka menghujani hutan
dengan Panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan
Pangrenyep. Berita binasanya Temperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai
kepada Sanjaya, maka sanjaya mambawa pasukan yang sangat besar, akan
tetapi hal ini telah diperhitungkan oleh Balangantrang. Melihat
sengitnya pertempuran itu, akhirnya tokoh tua Demunawan turun tangan
dan berhasil melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak
diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa
wilayah bekas Tamperan dibagi menjadi dua yaitu, kerajaan Sunda di
serahkan kepada Rahyang Banga, sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan
kepada Ciung Wanara atau Manarah.
Kerajaan Galuh Pada Masa Ciung Wanara
Sang Manarah yang disebut juga Ciung
Wanara atau Prabu Suratama Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana
memeritah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan
dengan cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini
dikaruniai anak bernama purbasari yang kelak menikah dengan Sang
Manistri atau Lutung Kasarung.
Ciung Wanara memerintah selama kurang
lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas
sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara
mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan
oleh menantunya yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung, suami dari
Purbasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya dengan bertapa.
Kisah Prabu Adimulya dan Ciung Wanara
atau Sang Manarah serta tempat yang disebut Bojong Galuh Karangkamulyan
yang sekarang terletak di Kecamatan Cijeungjing, telah menjadi penuturan
yang turun temurun serta tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada
di Kabupaten Ciamis yang dulunya bernama Kabupaten Galuh.
SITU LENGKONG
Kisah Terjadinya Situ Lengkong
Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong
bukanlah situ alam yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi hasil
buatan para leluhur Panjalu. Dimana dahulu kala sejak lebih kurang abad
ke tujuh masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke 15) di Panjalu telah
ada Kerajaan Hindu yang bernama kerajaan Panjalu.
Awal abad ke tujuh, Raja yang memerintah
ialah Prabu Syang Hyang Cakradewa. Raja mempunyai keinginan agar putra
mahkota sebagai calon pengganti raja haruslah memiliki terlebih dahulu
ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang mahkota “Borosngora”
lama sekali, tetapi tidak seorangpun diantara Wiku, para Resi dan para
Pertapa yang sanggup menggugurkan ilmu tersebut. Akhirnya putera mahkota
sampailah di Tanah Suci Mekah. Disanalah tujuan tercapai, yaitu
mempelajari dan memperdalam Agama Islam (Dua Kalimah Syahadat).
Setelah cukup lama, maka pulanglah sang
putera mahkota ke negara Panjalu dengan dibekali Air Zamzam, pakaian
kesultanan serta perlengkapan Pedang dan Cis dengan tugas harus menjadi
Raja Islam dan sekaligus mengislamkan rakyatnya. Kemudian beliau menjadi
Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Syang Hyang
Borosngora.
Mulai saat itulah Kerajaan Panjalu
berubah dari Kerajaan Hindu menjadi Kerajaan Islam. Air Zamzam yang dari
Mekah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama Lebah Pasir Jambu,
kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah Danau yang
kini disebut Situ Lengkong.
Pedang, Cis dan Pakaian Kesultanan
disimpan di Museum Bumi Alit yang waktu itu merupakan Museum Kerajaan.
Istana Kerajaan dipindahkan dari Pasir Dayeuh Luhur ke Nusa Gede
Panjalu, sehingga dengan demikian air Situ Lengkong merupakan benteng
pertahanan Keraton.
Situ Lengkong atau disebut juga Situ
Panjalu merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan raja-raja Panjalu
yang sekarang masih ada. Benda-benda peninggalan yang masih ada berupa
dolmen, lingga, dan batu bekas singgasana/bertapa raja.
Bumi Alit, Situ Lengkong dan upacara
nyangku merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah pada waktu Agama
Islam masuk ke Kerajaan Panjalu yang merupakan awal terjadinya
perkembangan sejarah baru.
Selanjutnya diceritakan pula bahwa Prabu
Boros Ngora memindahkan keraton yang semula terletak di daerah Dayeuh
Luhur ke Nusa Gede yang terletak ditengah- tengah Situ Lengkong. Selain
keraton, ia juga memindahkan kepatihan yang disebut Hujung Winangun ke
sebelah Barat Nusa Gede dan membuat taman serta kebun dan tempat
rekrerasi di Nusa Pakel. Untuk memudahkan komunikasi, maka dibuat dua
pintu gerbang untuk memasuki Keraton Nusa Gede, pintu gerbang yang
pertama dibuat dari ukiran dan dijaga oleh Gulang-gulang yang berjenggot
yang bernama Apun Obek. Sedangkan pintu gerbang yang ke dua merupakan
jembatan yang menghubungkan Nusa Gede dengan daratan, letaknya di
sebelah Barat yang dikenal dengan nama Cukang Padung (Jembatan dari
balok-balok kayu) maka sekarang daerah-daerah tersebut dinamakan Dusun
Cukang Padung.
Setelah Prabu Boros Ngora pindah ke
Jampang maka kekuasaan Kerajaan Panjalu diserahkan kepada anaknya Raden
Hariang Kuning dan selanjutnya diberikan kepada adiknya yang bernama
Raden Hariang Kencana (Embah Panjalu yang dimakamkan di Situ Lengkong,
yang menurunkan raja-raja Panjalu selanjutnya.
Data Teknis Situ Lengkong Panjalu
Luas Situ Lengkong adalah 57,95 Ha dan
Nusa Gede 9,25 Ha. Jadi luas seluruhnya adalah 67,2 Ha dengan kedalaman
air 4 m – 6 m. Situ ini berdiri di atas ketinggian 731 meter di atas
permukaan laut.
Nusa Gede
Ditengah Situ Lengkong teerdapat pulau
yang diberi nama Nusa Gede yang luasnya 9,25 Ha yang dulunya menurut
cerita sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu, sehingga situ
merupakan benteng pertahanan dan untuk mencapai tempat itu harus
melalui jembatan yang di dalam babad Panjalu disebut Cukang Padung.
Sekarang Nusa Gede menjadi hutan lindung
di bawah pengawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang didalamnya
terdapat cagar budaya dibawah lindungan Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala yang berkedudukan di Serang, luasnya kurang lebih 0,5 Ha
dimana terdapat makam penyebar Islam yang disebut Mbah Panjalu, yang
menurut Gus Dur adalah Sayid Ali Bin Muhamad bin Umar yang datang dari
Pasai (Aceh/Sumatra). Sedangkan buku Babad Panjalu di sebut Haring
Kencana Putra Borosngora dan menurut pakar sejarah Profesor DR Ayat
Rohaedi adalah Wastu Kencana Raja Sunda Galuh yang berkedudukan di
Kawali. Di dalam hutan terdapat 307 pohon yang terdiri dari 30 jenis.
Acara Nyangku
Asal-usul Upacara Adat Sakral Nyangku
Dalam upacara sakral Nyangku, Museum Bumi
Alit dan Situ Lengkong, satu sama lain saling berhubungan.
Ketiga-tiganya merupakan tonggak sejarah terjadinya pergeseran keadaan
sejarah Panjalu Lama ke Panjalu Baru.
Upacara adat sakral Nyangku juga merupakan peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada
Upacara adat sakral Nyangku pada jaman
dahulu merupakan suatu misi yang agung, yaitu salah satu cara untuk
menyebarkan agama Islam agar rakyat Panjalu memeluk agama Islam. Upacara
adat sakral Nyangku biasanya dilaksanakan setiap tahun satu kali yaitu
pada bulan Robiul Awal (Maulud) pada minggu terakhir hari Senin dan
Jum’at.
Istilah Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu “Yanko”, yang artinya membersihkan. Karena salah mengucapkan orang Sunda maka menjadi “Nyangku”. Upacara adat sakral Nyangku adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur Panjalu.
Tujuan dari upacara adat sakral Nyangku
adalah untuk merawat benda-benda pusaka supaya awet dengan tata cara
tersendiri sebagai tradisi atau adat. Namun hakikat dari upacara adat
sakral Nyangku adalah membersihkan dari segala sesuatu yang dilarang
oleh agama. Selain merawat benda-benda pusaka upacara adat sakral
Nyangku juga bertujuan untuk memperingati maulud Nabi Muhammad SAW dan
mempererat tali persaudaraan keturunan Panjalu.
Pelaksanaan Upacara Adat Sakral Nyangku
Penyelenggaraan upacara adat sakral
nyangku dilaksananak oleh para sesepuh Panjalu, unsur pemerintah desa,
instansi-instansi yang terkait, LKMD, tokoh masyarakat, dan para
Kuncen. Jalannya upacara adat sakral Nyangku dikoordinir oleh Yayasan
Noros Ngora dan desa.
Sebagai persiapan upacara adat sakral
Nyangku, semua keluarga keturunan Panjalu menjelang maulud Nabi Muhammad
Saw biasanya jaman dulu suka menyediakan beras sebagai bahan sesajen
untuk membuat tumpeng. Beras tersebut harus dikupas dengan tangan dari
tanggal satu Maulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan upacara
Nyangku. Selanjutnya para warga keturunan Panjalu mengunjungi makan
raja-raja Panjalu untuk berziarah dan memberitahukan upacara kepada
kuncen-kuncen para leluhur Panjalu.
Kemudian dilakukan pengambilan air untuk
membersihkan benda-benda pusaka dari tujuh sumber mata air: 1. Mata air
Situ Lengkong, 2. Karantenan, 3. Kapunduhan, 4. Cipanjalu, 5.
Kubangkelong, 6. Pasanggrahan dan 7. Kulah Bongbang Kancana. Pengambilan
air dilakukan oleh kuncen Bumi Alit atau petugas yang ditunjuk.
Keperluan lain yang diperlukan dalam upacara adalah sesajen yang terdiri
dari tujuah macam dan ditambah umbi-umbian, ke tujuh macam itu adalah:
1. ayam panggang, 2. tumpeng nasi merah, 3. tumpeng nasi kuning, 4. ikan
dari Situ Lengkong, 5. sayur daun kelor, 6. telur ayam kampung dan 7.
umbi-umbian. Selain itu juga ditambah tujuah macam minuman yaitu : 1.
kopi pahit, 2. kopi manis, 3. air putih, 4. air teh, 5. air mawar, 6.
air bajigur, dan 7. rujak pisang. Perlengkapan yang lain yang diperlukan
dalam upacara adalah sembilan payung dan kesenian Gemyung untuk
mengiringi jalannya upacara.
Sebelum upacara adat sakral Nyangku
dilaksanakan, pada malam harinya diadakan suatu acara Mauludan untuk
memperingati kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para
sesepuh Panjalu serta masyarakat yang datang dari berbagai penjuru
dengan susunan acara biasanya:
- Pembuka,
- Pembacaan ayat suci Alqur’an diteruskan dengan tawasul dan membaca berzanzi,
- Penjelasan atau riwayat singkat pelaksanaan Nyangku oleh ketua Yayasan Boros ngora yaitu Bapak H. Atong Cakradinata,
4. Sambutan-sambutan.
- Wakil dari pemerintah daerah
- Sesepuh Panjalu
- Kasi kebudayaan Depdiknas Kabupaten Ciamis
- Uraian Maulid Nabi.
- Do’a dan tutup dilanjutkan dengan acara kesenian Gemyung yang dilaksanakan semalam suntuk sampai pukul 03.00.
Pada pagi harinya dengan berpakaian adat
kerajaan, para sesepuh Panjalu dan keluarga besar Yayasan Borosngora
berjalan beriringan menuju Bumi alit, tempat benda-benda pusaka
disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan sholawat Nabi Muhammad SAW,
kemudian benda pusaka yang sudah dibungkus dengan kain putih mulai
disiapkan untuk segera diarak menuju tempat pembersihan.
Perjalanannya dikawal oleh peserta
upacara adat serta diiringi dengan musik gemyung dan bacaan sholawat
Nabi. Benda-benda pusaka diarak kurang lebih sejauh1 Km menuju Nusa Gede
Situ Lengkong. Pada upacara Nyangku selain diiringi oleh musik gemyung
juga didiringi oleh upacara adat. Barisan pembawa bendera umbul-umbul,
penabuh gemyung dan barisan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan
dengan para pembawa bendera pusaka.
Kemudian setelah sampai di Situ Lengkong
dengan perahu mereka menuju Nusa Gede dengan dikawal oleh perahu
sebanyak 20 buah, kemudian diarak kembali menuju bangunan kecil yang ada
di Nusa gedeberupa bangku yang beralaaskan kasur yang khusus dibuat
untuk upacara Nyangku. Benda-benda pusaka kemudian disimpan di atas
kasur tersebut dan satu persatu mulai dibuka bungkusnya lalu
diperlihatkan kepada pengunjung sambil dibacakan riwayatnya oleh H.
Atong Cakradinata. Setelah itu benda-benda pusaka mulai dibersihkan
dengan air dari tujuh sumber memakai jeruk mipis. Yang pertama kali
dibersihkan adalah pedang Sanghyang Boros Ngora. Setelah selesai dicuci
lalu dioles minyak kelapa yang dibuat khusus lalu dibungkus dengan cara
melilitkan zanur (daun Kelapa muda) kemudian dibungkus kembali dengan
kain putih yang terdiri dari tujuh lapis, kemudian memakai tali dari
benang boeh dan dikeringkan dengan asap kemenyan, setelah itu disimpan
kembali di Bumi alit.
Pelaksanaan upacara adat sakral Nyangku
tidak selamanya dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tergantung
situasi dan kondisi. Namun walaupun dilaksanakan di balai desa atau di
alun-alun tetapi tidak mengurangi kesakralannya. Kadang-kadang sebelum
rombongan datang ke bale desa, diadakan penjemputan dengan karesmen adat
seolah-olah yang datang itu calon pengantin pria dan diramaikan oleh
berbagai kesenian diluar kesenian Gemyung. Bahkan di alun-alun seminggu
sebelum hari H, Nyangku sudah ada kegiatan pasar malam.
Benda-benda yang dibersihkan pada upacara adat sakral Nyangku adalah diantaranya sebagai berikut:
- Pedang sebagai senjata pembela diri dalam rangka menyebarkan agama Islam.
- Cis sebagai senjata pembela dalam rangka menyebarkan agama Islam
- Kujang bekas membelah belanga yang menutupi kepala Bombang Kancana.
- Keris komando senjat bekas para raja Panjalu sebagai tongkat komando.
- Keris pegangan para Bupati Panjalu.
- Pancaworo senjata perang
- Bangreng merupakan senjata perang
- Gong kecil alat untuk mengumpulkan rakyat dimasa yang dulu
- Semua Benda Pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang ada dimasyarakat Panjalu.
Bumi Alit
Bumi Alit merupakan suatu bangunan
tempart enyimpanan benda-benda pusaka kerajan sewaktu Kerajaan Panjalu
berdiri sampai sekarang. Letak Bumi Alit tidak jauh dari Situ Lengkong,
tempatnya terletak dekat terminal Panjalu. Bumi Alit yaitu
suatubangunan kecil yang ditempatkan pada suatu tempat yang diberi nama
“Pasucian”. Nama pasucian diberikan oleh pendirinya yaitu seorang Raja
Panjalu yang bernama Prabu Sanghyang Boros Ngora atau Syeh Haji Dul
Imam, yang merupakan Raja Panjalu yang memeluk agama Islam.
Bumi Alit atau pasucian pada awalnya
terletak di Buni Sakti, kemudian dipindahkan ke Desa Panjalu oleh Prabu
Sanghyang Boros Ngora bersamabenda-benda pusaka Kerajaan Panjalu.
Bentuk Bumi Alit yang lama masih
berbentuk tradisional, tenmpatnya masih berupa tanaman lumut yang
dibatasi oleh batu-batu besar. Sedangkan disekelilingnya dipagari oleh
tanaman waregu, di tengah tanaman itu berdiri bangunan Bumi alit yang
berukuran besar. Bangunan yang dulu terbuat dari kayu, bambu dan ijuk,
bawahnya bertiang tinggi, badan bangunan berdinding bilik sedangkan
atapnya dari suhunan ijuk berbentuk pelana. Ujung bungbung menciut
berujung runcing dan ditutup dengan papan kayu berukir. Pada sisi bagian
barat terdapat pintu kecil yang depannya terdapat tangga kayu yang kuat
dari kayu balok tebal.
Bumi Alit yang sekarang ini adalah hasil
dari pemugaran pada tahun 1955 yang dilaksanakan oleh warga Panjalu dan
sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka, Alm.
Sedangkan bentuk bangunan Musium Bumi
Alit yang sekarang ini adalah campuran bentuk modern dengan bentuk
masjid jaman dahhulu yang beratapkan susun tiga. Pintu masuk ke Musium
Bumi alit terdapat patung ular bermahkota dan dipintu gerbang atau
gapura terdapat patung kepala gajah.
Pemeliharaan Musium Bumi Alit dilakukan
oleh pemerintah desa Panjalu dibawah pengawasan Departemen pendidikan
dan kebudayaan Kabupaten Ciamis.
Siloka
Berbicara tentang siloka memang orang-orang jaman dahhulu sering segala sesuatu pepatah dinyatakan dengan siloka.
Contoh:
- Ø Gayung Bungbas adalah siloka diri manusia seperti Rusa/Gayung Bungbas. Bila pagi-pagi diisi makanan, sorenya akan kosong. Ia (terbuang airnya) dan akan minta diisi lagi. Bila hidup hanya untuk makan/memuaskan nafsu tidak akan ada puasnya, manusia jadi rakus dan kosong tiada arti. Agar hidup jadi berarti, orang mesti beragama, beriman, berilmu, beramal baik/beramal soleh.
- Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
- Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
- Ø Situ Lengkong yang berasal dari air zamzam, dijadikan Benteng keraton, mengandung siloka yang berarti: “Tiada penangkal hidup yang baik, kecuali kesucian, yaitu suci di dalam hati, suci dalam ucap, suci dalam perbuatan dan suci dalam makanan dan pakaian”.
Pengalaman Prabu Anom Syang Hyang
Borosngora sendiri sewaktu muda dimana beliau telah memiliki berbagai
ilmu gaib penangkal hidup, ternyata tidak mampu melawan ilmu ajaran Nabi
yang dimiliki Sayidina Ali RA.
Dari situ lahirlah petuah Panjalu. Petuah yang bernapaskan Islam.
“MANGAN KARNA HALAL, PAKE KARNA SUCI TEKAD – UCAP-LAMPAH – SABEUNEURE”
Prabu Syang Hyang Borosngora menjadikan
Situ Lengkong tersebut untuk sumber air minum dan tidak boleh dikotori,
bagi penduduk di kala itu, artinya orang Panjalu hendaklah berdarah air
zamzam. Agar orang Panjalu berbakat suci, hidup dalam agama. Selain itu
pula, gelar Syang Hyang Borosngora , adalah gelar siloka. Boros artinya
Rebung yang tumbuh disela-sela induknya menerobos lapisan-lapisan tanah,
sisa-sisa hutan belukar merupakan tatanan kehidupan lama, lalutimbuh
dan berkembang, mengembang sebagai pembaharuan, membawa benih tatanan
hidup baru yang lebih baik dan lebih maju.
Sejarah Galuh maupun sejarah Panjalu
kebanyakan mengambil data-data dari cerita rakyat yang ditulis atau
diceritakan lagi oleh masyarakat secara turun temurun yang tulisannya
maupun isinya rata-rata berbau mitos sesuai dengan jamannya.
Dari pengumpulan data-data yang
dikimpulkan oleh penulis selama 10 tahun lebih, ternyata didapatkan
bermacam-macam versi. Walaupun demikian, nama tokoh-tokoh Kerajaan
Panjalu hampir sama. Sedangkan yang membedakannya hanyalah cerita
darimana tokoh itu berasal dan kapan memerintahnya.
Nama tokoh dimulai dari pendiri Kerajaan
Panjalu yaitu Rangga Gumilang terus Lembu Sampulur, Cakra Dewa,
Borosngora, Hariang Kencana sampai Bupati terakhir yaitu Rd. Cakradinata
III.
Yang membedakan adalah asal usul tokoh
tersebut, karena setiap cerita rakyat yang diceritakan masyarakat secara
turuntemurun maupun cerita rakyat yang ditulis pada naskah kuno
berrbeda kisahnya sehingga untuk menentukan tahun serta masa
pemerintahannya sangat sukar dan akan berbeda pendapat.
Salah satu contoh untuk menetukan masa
atau tahun berdirinya Kerajaan Panjalu apakah abad ke VII atau abad ke
XIII atau abad ke XV. Ini adalah tantangan bagi para ahli sejarah
terutama akademika untuk terus menyelusurinya.
Para Raja dan Bupati Panjalu
1. Prabu Rangga gumilang
2. Lembu Sampulur putra Rangga Gumilang
4. Prabu Cakra Dewa
5.Prabu Borosngora
6. Hariang Kuning
7. Hariang Kencana
8. Dipati Hariang Kuluk Kukunang Teko
9. Dipati Hariang Kanjut Kandalikancana
10. Dipati Hariang Martabaya
11. Dipati Hariang Kunang Natabaya
12. Aria Sumalah
13. Aria Secamata (Aria Salingsingan)
14. Dalem Aria Wirabaya
15. Dalem Wirapraja
16. Rd. Tmg Cakranegara I
17. Rd. Tmg Cakranagara II
18. Rd. Tmg Cakranagara III
Pemandangan teluk Pangandaran di tahun 1930-an
PANGANDARAN
Pangandaran sekarang menjadi nama desa,
nama kecamatan, nama kewadanaan, dan nama ibukota Kecamatan
Pangandaran. Kecamatan Pangandaran dengan jumlah penduduk 69.646, luas
14.132 Ha, didukung oleh hotel dan penginapan sebanyak 203 buah
menjadikan daerah Pangandaran sebagai daerah pariwisata. Selain
keindahan pantainya, Pangandaan memiliki Cagar Alam Pananjung, yang
luasnya 530 Ha, di dalamnya terdapat gua-gua alam dan Situs Batu Kalde
yang diperkirakan sebagai peninggalan Kerajaan Pananjung pada abad
sekitar 15.
Pananjung selain sebagai cagar alam
dibawah pengawasan KSDA (Konservasi sumber Daya Alam) juga merupakan
perlindungan terhadap binatang langka yaitu Banteng.
Pada tahun 1985 di Cagar Alam Pananjung
ditemukan bunga bangkai yang disebut Rafflesia yang sekarang atas
prakasa Bapak Bupati H. Dedem Ruchlia dijadikan Maskot Kabupaten Ciamis
yang sekarang berdiri megah di Taman bunga Alun-alun Ciamis.
Sebelum tahun 1985 ke Pangandaran selain
menggunakan jalan aspal kita dapat menggunakan jasa kereta api yang
dibangun oleh Belanda pada tahun 1912.
Bermacam kenangan menurut orang tua yang
pernah naik kerketa api mulai naik dari kereta api lokomotif sampai
tahun 1970, dan diteruskan dengan kereta disel sampai tahun 1985.
Disamping terowongan , yang sangat unik
adalah jembatan yang sangat panjang bagi ukuran di Jawa Barat, yaitu
Cikacepit yang panjangnya 268,8 m, dan jembatan Panarekean yang
panjangnya 270 m dengan ketinggian 62,6 m. Kenangan bagaimana di dalam
terowongan selama beberapa menit yang gelap gulita dipakai oleh para
penumpang sebagai kenangan yang tidak terlupakan. Pemandangan yang
sangat indah mulai dari stasiun Kalipucang sampai Pangandaran, karena
selain melewati lereng-lereng gunung yang menghijau juga terlihat
hamparan Laut Hindia.
Kenangan itu akan diwujudkan kembali,
karena mulai awal 1998 jalan kereta api yang sudah terhenti selama 15
tahun yang diakibatkan meletusnya Gunung Galunggung pada ahun 1982
sedang dibangun kembali oleh PJKA bersama pemerintah daerah setempat.
Pangandaran adalah salah satu daerah wisata yang merupakan “basisnya” Ronggeng Gunung yang tersebar di beberapa desa.
Nama Pangandaran tidak tiba-tiba menjelma begitu saja tapi memang mengandung riwayatnya tersendiri yang lahir tanpa papan nama.
Menurut orang tua, hal ikhwal Pangandaran
berasal dari kata Pangan dan Andar-andar. Sudah barang tentu yang
namanya pangan adalah makanan, sedangkan andar-andar identik dengan
orang pendatang baru. Jadi harfiahnya dalam logat Jawa “Wong golek
pangan” atau mencari nafkah. Suku ‘an’ di sana bukan merupakan akhiran
sebagaimana termaktub dalam EYD, melainkan hanya sebagai akibat yang
tujuannya untuk memperlengkap nama saja yang acuannya untuk mempermudah
sebutan supaya lebih komunikatif.
Nama Pangandaran sudah tidak asing lagi
bagi kita. Pangandaran adalah suatu kawasan wisata yang potensial di
Ciamis Selatan, Jawa Barat, yang merupakan sumber petro dollar sang
primadona yang banyak meraup keuntungan.
Letak geografisnya sangat strategis dan
menguntungkan, dan seperti umumnya daerah pantai, kehidupan utama
masyarakat di sekitarnya adalah nelayan. Bahasa yang merupakan alat
komunikasi sehari-hari jika ditelusuri atau ditelaah tercatat ada 3,
yaitu (1) yang mendominasi adalah Bahasa Jawa, (2) Bahasa Sunda, dan (3)
Bahasa “Jawa Reang” sebagai pengganti istilah bahasa campuran. Namun
uniknya kendatipun masyarakatnya berlatar belakang Jawa, tapi yang hidup
dan telah memasayarakat adalah kebudayaan tradisional Seni Tari Sunda
yang terkenal dengan sebutan “Ronggeng Gunung”. Seni lain yang ada di
daerah itu di antaranya adalah Ronggeng Doger dan Ibing Tayub (keduanya
sama sekali berbeda dengan ronggeng Gunung). Seni lain yang ada tapi
tidak populer di daerah itu adalah Kuda lumping atau Ebeng, Sintren,
Janeng, dan Wayang Kulit.
LIRIK LAGU DAERAH CIAMIS
Ciamis, Ciamis
Garapanna pangwangunan
Yu, babarengan
Yu, rampak tandang
Mugia sing agung nanjung
Pakena gawe rahayu
Garapanna pangwangunan
Yu, babarengan
Yu, rampak tandang
Mugia sing agung nanjung
Pakena gawe rahayu
Pakeun heubeul jaya dibuana
Ciamis natar udagan
Mapag mangsa datang
Nanjung tur gumilang
Mahayunan kadatuan
Kiwari nagncik bihari
Ayeuna sampeureun jaga
Geusan mahayunan
Ayuna Kadatuan
Ciamis manjang manisna
Ciamis manjing dinamis
Panghareupan pangwangunan
Kukuh ajeug pribadi
Raharja lemah cai
LIRIK LAGU CIAMIS MANIS
Manis bukan sembarang manis
Manisnya Ciamis
Tatar galuh parahiyangan
Permata Pasundan
Manis bukan sembarang manis
Menawan Asri Nyaman Indah Sehat
Ciamis Manis
Manjing Dinamis
Mahayuna ayuna kadatuan
Maju!
LIRIK LAGU CIAMIS MANIS
Manis bukan sembarang manis
Manisnya Ciamis
Tatar galuh parahiyangan
Permata Pasundan
Manis bukan sembarang manis
Menawan Asri Nyaman Indah Sehat
Ciamis Manis
Manjing Dinamis
Mahayuna ayuna kadatuan
Maju!
CIAMIS MANIS MANJING DINAMIS MAHAYUNA AYUNA KADATUAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar