BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Para ahli sejarah
telah mencatat banyak hal tentang perkembangan peradaban Islam khususnya
pertengahan abad ke-8 M hingga permulaan abad ke-13 M. Sejarah peradaban islam
telah dicatat dalam sejarah, bahwa pada masa tersebut Islam pernah mengalami
masa kejayaan. Kejayaan Islam ini diperlihatkan dengan berbagai
kemajuan-kemajuan dalam banyak bidang seperti bidang ilmu pengetahuan, politik,
ekonomi, teknologi dan masih banyak yang lainnya. Kemajuan-kemajuan itu terjadi
baik dari Daulah Islam di Timur (Daulah Abbasiah) yang berpusat di Baghdad
maupun Islam di Barat (Daulah Umayyah) yang berpusat di Cordoba.
Di masa khilafah Bani
Umayyah yang berumur kurang lebih 90 tahun telah mencapai keberhasilan ekspansi
ke berbagai daerah, baik di Timur maupun di Barat dengan wilayah kekuasaan
Islam yang benar-benar sangat luas. Pada zaman khalifah al-Walid Ibn al-Malik,
salah satu khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, umat Islam
mulai menaklukan semenanjung Iberia. Semenanjung Iberia adalah nama tua untuk
wilayah Spanyol dan Portugal. Sejak awal abad 5 Masehi (tahun 406 M), wilayah
tersebut dikuasai oleh bangsa Vandals, maka dinamakan Vandalusia. Namun, sejak
tahun 711 M, semenanjung Iberia dan wilayah selatan Prancis jatuh ke dalam
kekuasaan Islam, diperintah oleh pembesar-pembesar Arab dan Barbar. Sejak
itulah, wilayah ini dikenal dengan Andalusia.
Spanyol merupakan
tempat paling utama dan jembatan emas bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam
dan hasil-hasil kebudayaan Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial,
perekonomian, maupun peradaban antarnegara. Orang-orang eropa menyaksikan
kenyataan bahwa Spanyol berada dibawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan
negara-negara tetangga Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains.
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi
kepada khazanah ilmu pengetahan Islam yang berkembang di periode klasik.
Maka pada makalah
ini, penulis akan mencoba membahas secara gamblang mengenai bagaimana peradaban
Islam di Andalusia. Tentu Islam membawa banyak peranan penting bagi khazanah
peradaban di Andalusia (Spanyol). Banyak perubahan-perubahan drastis setelah
masuknya Islam di Andalusia yang patut kita tahu dan cermati sebagai pemikir
umat Islam. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa,
tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam. Sumber data dalam
pembahasan makalah ini adalah beberapa buku sejarah kebudayaan dan peradaban
Islam dan juga beberapa jurnal yang terkait dengan sejarah Islam di Andalusia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses masuknya islam di Andalusia?
- Bagaimana perkembangan peradaban dan pemerintahan politik di Andalusia sebelum dan sesudah masuknya islam?
- Bagaimana sistem pemerintahan masa-masa kekhalifaan di Andalusia?
- Apa faktor-faktor penyebab keruntuhan kekuasaan islam di Andalusia?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan keislaman dalam
peradaban Andalusia setelah masuknya Islam bagi para pembaca. Dimana kita bisa
cermati perbedaan peradaban antara sebelum masuknya Islam dan sesudah masuknya
Islam di Andalusia.
Penulis sangat
berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk menjadi bahan penambah informasi
tentang peradaban Islam, khususnya peradaban Islam di Andalusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Islam di Andalusia
Pada saat berada di
bawah kepemimpinan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, Daulah Bani Umayyah
melakukan ekspansi besar-besaran ke Barat. Pada masa pemerintahan Al-Walid yang
berjalan lebih kurang sepuluh tahun, pada tahun 711 M tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya benua Eropa. Setelah
menundukkan Aljazair dan Maroko, pemimpin pasukan Islam, Thariq bin Ziyad
bersama pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan
benua Eropa. Pasukan Thariq bin Ziyad berlabuh di suatu tempat yang saat ini
dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq) (Badri Yatim, 2014: 43).
Kapal-kapal yang digunakan oleh pasukan Thariq, menurut beberapa riwayat
disediakan oleh Julian, Pangeran Ceuta, yang namannya cukup melegenda (Dedi
Supriyadi, 2008: 114).
Sebelum ditakukkan
oleh pasukan Islam, Spanyol diperintah oleh Raja Visigoth Roderick yang
memerintah Spanyol dengan sewenang-wenang. Salah seorang keluarganya yang
menjadi gubernur Ceuta, Julian, menaruh dendam kepada Roderick. Akhirnya Julian
melakukan kerjasama dengan tentara Islam yang dipimpin oleh Musa bin Nushair
untuk menjatuhkan Roderick (Merduati, 2007: 8).
Bangsa Arab ketika
itu mengintai peluang baik untuk menaklukkan tanah Spanyol. Pada tahun 710M,
mengangkatlah Witiza, raja Gothia Barat di Andalus, dan singgasananya diduduki
secara paksa oleh panglimanya, Roderik, maka semua putra Witiza dendam pada
Roderik untuk merebut kembali kedudukan mendiang ayahnya. Untuk usaha ini
mereka bersekutu dengan Graf Yulian yang juga musuh Roderik. Maka, karena Graf
Yulian sepakat, lalu ia meminta bantuan kepada Musa Ibnu Nusair (Ma’ruf Misbah,
dkk, 1996: 25).
Tentu permintaan
tersebut diterima Musa dan langsung meminta kepada Khalifah Walid agar
mengijinkan penyerangan Spanyol ini. Permohonan Musa dikabulkan dengan pesan
agar berhati-hati terhadap Graf, sebab mungkin itu tipuan untuk membinasakan
tentara Islam (Ma’ruf Misbah, dkk, 1996: 25).
Untuk membuktikan
kebenaran Graf, maka Musa memerintah perwira Tharif bin Malik dan hanya membawa
500 orang tentara, untuk menguasai beberapa pelabuhan di Spanyol Selatan tahun
710M. Ternyata Tharif mendapat bantuan besar dari Graf sehingga memperoleh
kemenangan dan mendapat harta rampasan perang yang sangat banyak. Musa semakin
yakin, maka ia menyediakan 7.000 orang tentara pilihan, sebagian besar dari
suku Barbar, pimpinan seorang panglima yang diserahkan pada Tharik bin Ziad
yang ketika itu menjabat Gubernur kota Tanger (Ma’ruf Misbah, dkk, 1996:
25-26).
Dalam ekspedisi yang
dilakukan oleh pasukan Islam tersebut, tentara Spanyol dapat dikalahkan oleh
pasukan Islam. Ibu Kota Spanyol, Cordova, dengan cepat dapat dikuasai oleh
pasukan Islam. Kemudian disusul oleh kota-kota lain, seperti: Seville, Elvira
dan Toledo yang dijadikan sebagai ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya
Cordova (Badri Yatim, 2014: 43-44).
Dalam proses
penaklukan Spanyol, terdapat tiga pahlawan Islam yang sangat berjasa. Mereka
adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan Musa bin Nushair. Tharif ibn
Malik dapat dikatakan sebagai perintis penaklukan Spanyol. Dia menyeberangi
selat yang berada antara Maroko dan benua Eropa bersama pasukan perangnya (Badri
Yatim, 2014: 88). Dikisahkan bahwa, setelah mendapat persetujuan dari Khalifah
Al-Walid I, Musa bin Nushair memerintahkan panglima Tharif bin Abdul Malik
an-Nakhai yang membawa 400 orang tentara dengan 100 pasukan berkuda guna
melakukan penjajakan awal. Pasukan Tharif memasuki Spanyol (Andalusia) pada
tahun 710 M (Merduati, 2007: 8).
Didorong oleh
keberhasilan Tharif tersebut dan juga munculnya kemelut dalam kerajaan
Visigothic yang menguasai Spanyol saat itu, serta didorong pula untuk
memperoleh harta rampasan perang, bukan hasrat untuk menaklukkan, pada tahun
711 M, Musa bin Nushair mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di
bawah pimpinan Thariq bin Ziyad (Badri Yatim, 2014: 89). Thariq bin Ziyad
adalah seorang budak Barbar yang telah dibebaskan oleh Musa bin Nushair (Dedi
Supriyadi, 2008: 114).
Ketika Raja Roderick
mengetahui bahwa pasukan Thariq telah memasuki Spanyol, dia berusaha
mengumpulkan pasukan penangkal sebanyak 25 ribu tentara. Menyadari jumlah musuh
yang tidak seimbang, Thariq meminta bantuan kepada Musa bin Nushair, akhirnya
Thariq mendapat tambahan pasukan sebanyak 12 ribu tentara (Dedi Supriyadi,
2008: 118). Sebelum Thariq bin Ziyad menyerang kota-kota lain, Thariq terlebih
dahulu menaklukkan Arknidona, kemudian Elvira (Merduati, 2007: 9).
Thariq bin Ziyad
adalah pahlawan Islam yang dikenal sebagai penakluk Spanyol disebabkan
pasukannya lebih besar serta membuahkan hasil yang nyata. Pasukan Thariq bin
Ziyad sebagian besar terdiri dari suku Barbar yang didukung oleh Musa bin
Nushair dan sebagian orang Arab yang dikirim oleh Khalifah Al-Walid. Dalam
pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan
(Badri Yatim, 2014: 89-90). Pasukan Roderick porak-poranda
dalam keadaan kacau, sementara nasib Roderick ditentukan diujung tombak Thariq
bin Ziyad (Merduati, 2007: 10). Kemenangan yang diperoleh oleh pasukan Thariq
bin Ziyad telah membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi.
Pada tahapan selanjutnya, Musa bin Nushair ikut melibatkan diri dalam
pertempuran dengan membawa pasukan dalam jumlah besar. Akhirnya satu persatu
kota penting di Spanyol, seperti Sidonia, Karmona, Seville dan Merida dapat
ditaklukkan (Badri Yatim, 2014: 89-90).
Dikisahkan bahwa Musa
bin Nushair membakar semua kapal perangnya dengan tujuan agar pasukannya tidak
kembali lagi ke Afrika atau melarikan diri. Akhirnya, setelah berhasil
menaklukkan Semananjung Iberia (Spanyol), Musa bin Nushair mendeklarasikan
kawasan tersebut sebagai bagian dari kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus (Dedi
Supriyadi, 2008: 115).
Kemenangan demi
kemenangan yang dicapai oleh pasukan Islam di Spanyol tidak terlepas dari dua
faktor; internal dan eksternal. Faktor eksternal adalah suatu kondisi yang
terdapat di negeri Spanyol sendiri. Pada saat pasukan Islam melakukan ekspansi,
kondisi sosial, politik dan ekonomi di Spanyol berada dalam keadaan
menyedihkan. Saat itu, penguasa Gothic di Spanyol bersikap tidak toleran
terhadap aliran-aliran agama yang berkembang di Spanyol. Penganut agama Yahudi
yang merupakan bagian besar dari penduduk Spanyol dipaksa untuk dibabtis
menurut ajaran Kristen. Dalam kondisi seperti itu, kaum tertindas di Spanyol
menanti kedatangan juru selamat, dan juru selamat tersebut adalah pasukan Islam
(Badri Yatim, 2014: 91). Faktor lainnya yang menjadi penyebab kekalahan
Roderick adalah kondisi pasukannya yang tidak mempunyai semangat perang (Dedi
Supriyadi, 2008: 119).
Adapun faktor
internal yang menyebabkan kemenangan pasukan Islam di Spanyol adalah suatu
kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan prajurit
Islam yang terlibat dalam pasukan perang di Spanyol. Para pemimpin pasukan
Islam adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh
percaya diri. Hal terpenting lainnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan oleh
para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan dan tolong menolong sehingga
masyarakat Spanyol dengan mudah bisa menerima kedatangan pasukan Islam (Badri
Yatim, 2014: 93).
Kerajaan dinasti
Umayyah Spanyol memerintah dengan mengikuti sistem otokrasi yang
pemerintahannya mempunyai kekuasaan penuh. Semua urusan pemerintahan, baik yang
ada di dalam maupun yang ada di luar negeri, berada di bawah kendali amir atau
khalifah yang sekaligus bertindak juga sebagai panglima tentara dan ketua
peradilan.
Institusi khalifah
diwujudkan pada tahun 929 Masehi dan citra khalifah lebih ditonjolkan. Akan
tetapi sejak tahun 929 Masehi, nama Abdurrahman III An-Nasir disebut sebagai
pemimpin umat. Disamping amir atau khalifah, terdapat seorang lagi yang
berkuasa yaitu perdana menteri (hajib). Tugasnya sama dengan tugas seorang wazir
(menteri) di timur kekhalifahan Islam. Perbedaannya ialah di Spanyol, setiap
hajib mempunyai beberapa orang menteri di bawahnya. Menteri-menteri ini
ditugaskan untuk mengurus tata kerja pemerintahan yang berpusat di istana
Cordova (Nurjamil, 2015: 42).
Badri Yatim, dalam
bukunya mengemukakan bahwa sejak berhasil ditaklukkan, Islam memainkan peranan
besar di Spanyol yang berlangsung lebih dari tujuh abad. Menurut Yatim, sejarah
panjang umat Islam di Spanyol dapat dibagi ke dalam enam periode:
1.
Masa Periode Para Wali (711-755
M)
Periode pemerintahan
Islam pertama di Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat
oleh Khalifah Bani Umayyah yang saat itu berpusat di Damaskus. Pada periode
pertama ini, stabilitas politik di Spanyol belum sempurna dan masih terjadi
berbagai gangguan, baik yang datang dari dalam, maupun dari luar (Badri Yatim,
2014: 93-94).
Ganggguan dari dalam,
di antaranya berupa perselisihan anta relit penguasa yang diakibatkan oleh
perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, juga terdapat perbedaan pandangan
antara Khalifah Umayyah di Damaskus dengan Gubernur Afrika Utara, di mana
masing-masing pihak saling klaim bahwa mereka-lah yang menguasai Spanyol. Hal
ini pula yang menyebabkan terjadinya dua puluh kali pergantian wali (gubernur)
di Spanyol dalam waktu yang singkat. Perbedaan politik tersebut juga
mengakibatkan sering terjadinya perang saudara di Spanyol (Badri Yatim, 2014:
94).
Adapun gangguan dari
luar berasal dari sisa-sisa musuh Islam yang ada di Spanyol. Mereka bertempat
tinggal di daerah pegunungan dan tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam
Spanyol. Karena sering terjadinya konflik internal dan mendapat
serangan-serangan dari luar, pada periode ini Spanyol belum mampu melaksanakan
pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode para wali ini berakhir
setelah datangnya Abdul Rahman ad-Dakhil ke Spanyol pada tahun 755 M (Badri
Yatim, 2014: 94).
2.
Masa Keamiran (755-912 M)
Setelah berakhirnya
periode pemerintahan para wali, untuk selanjutnya Spanyol berada di bawah
pimpinan para amir (panglima atau gubernur). Pemerintahan Islam yang dipimpin
oleh para amir di Spanyol tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam yang
saat itu dipegang oleh para khalifah Abbasiyah di Bagdad (Badri Yatim, 2014:
94-95).
Amir pertama yang
memerintah di Spanyol setelah masa para wali adalah Abdurrahman I yang diberi
gelar ad-Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Abdurrahman ad-Dakhil masuk ke Spanyol
pada tahun 755 M. Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari serangan
Bani Abbasiyah yang saat itu telah berhasil menaklukkan Khilafah Bani Umayyah
di Damaskus (Badri Yatim, 2014: 95). Abdurrahman ad-Dakhil berhasil
menyingkirkan Yusuf ibn Abdurrahman Al-Fihri yang menyatakan diri tunduk kepada
kekuasaan Bani Abbasiyah pada tahun 138 H/756 M. Abdurrahman ad-Dakhil
memproklamirkan bahwa Andalusia lepas dari kekuasaan Bani Abbasiyah dan dia
memakai gelar amir, bukan khalifah (Dedi Supriyadi, 2008: 115).
Kekuasaan yang
didirikan oleh Abdrahman ad-Dakhil mampu bertahan selama dua tiga per empat
abad (756-1031), (Dedi Supriyadi, 2008: 115). Para penguasa Spanyol pada masa
Keamiran adalah: Abdurrahman ad-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdul Rahman
al-Ausath, Muhammad ibn Abdurrahman, Munzir ibn Muhammad dan Abdullah bin
Muhammad (Badri Yatim, 2014: 95). Masa Keamiran di Spanyol mencapai puncak
kejayaannya di bawah pemerintahan amir ke delapan, Abdurrahman III (912-961)
yang merupakan pemimpin terkuat dan orang yang pertama sekali menyandang gelar
khalifah (Dedi Supriyadi, 2008: 115). Abdurrahman III memilih sendiri gelarnya,
yaitu Al-Khalifah An-Nashir li Din Allah (Khalifah penolong agama Allah), (Dedi
Supriyadi, 2008: 116).
Pada periode
pemerintahan di bawah para amir, Spanyol sudah mulai memperoleh kemajuan, baik
dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abdurrahman ad-Dakhil pada
saat itu mendirikan masjid Cordova dan juga membangun sekolah di beberapa kota
besar di Spanyol. Selain Abdurrahman ad-Dakhil, beberapa amir lainnya juga
telah berhasil membangun peradaban di Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam
menegakkan hukum Islam di Spanyol. Sementara itu, Hakam dikenal sebagai
pembaharu dalam bidang kemiliteran yang telah memprakarsai tentara bayaran di
Spanyol. Sedangkan Abdul Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasan yang
mencintai ilmu pengetahuan. Pada periode ini, pemikiran filsafat juga sudah
mulai masuk ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol sudah
mulai marak (Badri Yatim, 2014: 95).
Meskipun demikian,
stabilitas negara pada periode pemerintahan para amir juga sempat terganggu
dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan pada
pertengahan abad ke-9. Namun, seluruh gereja Kristen di Spanyol tidak mendukung
gerakan tersebut karena jauh sebelumnya pemerintahan Islam telah mengembangkan
kebebasan beragama di Spanyol (Badri Yatim, 2014: 95).
Gangguan politik
paling serius pada masa ini justru datang dari umat Islam sendiri. Gerakan
pemberontak di Toledo pada tahun 825 M telah berhasil membantuk negara kota
yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu, perseteruan antara orang Arab
dan Barbar juga terus terjadi di Spanyol (Badri Yatim, 2014: 96).
3.
Masa Kekhalifahan (912-1013 M)
Periode ketiga
sejarah Islam di Spanyol, dimulai dari pemerintahan Abdurrahman III sampai
dengan munculnya raja-raja kelompok (Muluk Thawaif). Pada periode ini, Spanyol
diperintah oleh penguasa muslim yang menggunakan gelar khalifah. Penggunaan
gelar khalifah ini dipicu oleh kondisi Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad yang
sedang berada dalam kemelut dengan terbunuhnya Khalifah Al-Muktadir. Menurut
Abdurrahman III, penggunaan gelar khalifah pada saat itu sudah sangat tepat,
setelah gelar khalifah tersebut hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150
tahun. Untuk pertama kalinya, gelar khalifah bagi penguasa Spanyol digunakan
pada tahun 929 M. Ada tiga orang khalifah besar yang mengendalikan kekuasaan
Islam di Spanyol, yaitu Abdurrahman III (912-961 M), Hakam II (961-976 M) dan
Hisyam II (976-1009 M), (Badri Yatim, 2014: 96).
Pemerintahan
Abdurrahman III dan penerusnya Al-Hakam II, kemudian dilanjutkan oleh
kediktatoran Hajib al-Manshur menandai puncak kejayan muslim di Barat. Sebelum
dan sesudah periode ini, sebagaimana disebut Hitti, Spanyol muslim tidak pernah
mampu menggenggam pengaruh politik sedemikian rupa, baik di Eropa maupun di
Afrika (Philip K. Hitti, 2013: 668-669).
Pada periode ini,
umat Islam di Spanyol berhasil mencapai puncak kejayaan dan mampu menyaingi
kejayaan Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad. Pada masa ini masyarakat Spanyol
dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran (Badri Yatim, 2014: 97).
4.
Muluk at-Thawaif (1013-1086 M)
Pada periode ini,
kekuasaan Islam di Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh kerjaan kecil
yang dipimpin oleh raja-raja golongan atau Al-Muluk at-Thawaif. Pemerintahan
ini terpusat di kota-kota tertentu, seperti Seville, Cordova, Toledo dan
sebagainya. Kerajaan terbesar pada masa ini adalah Abbadiyah di Seville. Pada
masa ini juga sering terjadi perang saudara antara umat Islam, bahkan ada
sebagian pihak yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Disebabkan
kondisi umat Islam yang lemah pada saat itu, para penguasa Kristen mulai
melakukan penyerangan. Meskipun kondisi politik tidak stabil, namun pada masa
Muluk at-Thawaif ini kehidupan intelektual terus mengalami perkembangan (Badri
Yatim, 2014: 97-98).
Kerajaan-kerajaan
kecil pada masa Muluk at-Thawaif dipimpin oleh orang-orang Barbar, Slavia dan
Arab. Kerajaan kecil yang terkuat pada masa ini, di antaranya: Bani Ibad di
Seville, Alfasid di Bedajoz, Al-Ziri di Granada, Zu al-Nun di Toledo dan Bani
Hud di Saragossa serta 38 kerajaan kecil lainnya yang tersebar di wilayah
Spanyol (Merduati, 2007: 33).
Puncak berakhirnya
Muluk Thawaif ditandai dengan jatuhnya Toledo ke tangan Alfonso VI (1065-1109)
yang pada saat itu berada dalam pemerintahan Banu Zi an-Nun (1032-1085).
Alfonso memanfaatkan pertentangan raja-raja kecil Muluk at-Thawaif dengan
memberikan bantuan kepada salah satu pihak yang sedang bertikai (Merduati,
2007: 40).
5.
Reconquesta (Penaklukkan Kembali)
Periode penaklukan
kembali Spanyol (reconquesta) dimulai sejak jatuhnya kekhalifahan Umayyah pada
abad ke-11. Namun demikian, para sejarawan Spanyol menganggap bahwa pertempuran
Covadonga pada tahun 718 M yang dilakukan oleh pemimpin Asturia, Pelayo, yang berhasil
memukul mundur pasukan Islam merupakan tanda dimulainya penaklukan
sesungguhnya. Menurut Hitti, andai saja pasukan Islam menghancurkan sisa-sisa
kekuasaan Kristen di wilayah pegunungan utara, mungkin kisah Spanyol
selanjutnya akan sangat berbeda (Philip K. Hitti, 2013: 700).
Setelah sempat
berhenti beberapa saat, karena mengurusi pertikaian internal antar pemimpin
Kristen di utara, proses perebutan kembali ini menjadi lebih cepat karena
Castile dan Leon telah bersatu pada tahun 1230 M. Pada paruh abad ke-13,
penaklukkan kembali ini dengan pengecualian Granada hampir tuntas dijalankan.
Toledo direbut pada tahun 1085 M, diikuti Cordova tahun 1236 M dan Seville pada
1248 M (Philip K. Hitti, 2013: 700).
Reconquesta
menampakkan dirinya sebagai sebuah gerakan yang bertujuan membebaskan negeri
Spanyol dari pengaruh Islam. Gerakan ini sekaligus merupakan lambing
pemberontakan umat Kristen terhadap pemerintahan Islam dan kaum muslimin.
Pemberontakan tersebut telang berlangsung selama berabad-abad, akan tetapi
gerakan ini tidak menyeluruh dan tanpa koordinasi dengan baik (Merduati, 2007:
64).
Gerakan Reconquesta
baru terlaksana secara menyeluruh dan terkoordinasi setelah akhir kekuasaan
Bani Umayyah di Spanyol. Gerakan ini tidak putus-putus memainkan peranannya
dalam menyingkirkan Islam di Spanyol (Merduati, 2007: 64-65).
6.
Masa Dinasti Murabithun
Gerakan Al-Murabithun
dimulai sekitar tahun 1039 M oleh seorang tokoh muslim Maroko, Abdullah bin
Yasin. Dia mendirikan sebuah benteng di sebuah pula di sungai Nigeria. Benteng
yang disebut ribat tersebut didirikan sepanjang garis perbatasan antara dunia
muslim dan non muslim. Pada saat tidak berperang, mereka menghabiskan waktu
untuk berzikir kepada Allah di dalam ribat sehingga mereka disebut dengan
Murabithun, yaitu orang-orang yang menghuni ribat.
Dinasti Murabithun
pada awalnya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf in Tasyfin
di Afrika Utara. Pada tahun 1062, dia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang
berpusat di Marakesy. Dinasti Murabithun masuk ke Spanyol atas undangan para
penguasa Islam di Spanyol yang sedang kewalahan mempertahankan kekuasaan Islam
akibat serangan-serangan dari penguasa Kristen. Yusuf ibn Tasyfin bersama
pasukannya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan
Castilia.Kondisi Spanyol yang tidak stabil saat itu akhirnya mendorong Dinati
Murabithun untuk menguasai Spanyol. Akan tetapi, penguasa Dinasti Murabithun
sepeninggal Yusuf ibn Tasyfin adalah orang-orang lemah sehingga pada tahun 1143
kekuasaan Dinasti Murabithun berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol.
Pada saat Spanyol dikuasi oleh Dinasti Murabithun, tepatnya pada tahun 1118 M,
Saragossa jatuh ke tangan Kristen. Sepeninggal Dinasti Murabithun ini, di
Spanyol kembali muncul dinasti-dinasti kecil yang berlangsung tiga tahun.
Selanjutnya kekuasaan Dinasti Murabithun digantikan oleh Dinasti Muwahidun
(Badri Yatim, 2014: 98).
Dinasti Murabithun
berhasil merebut kota-kota di Spanyol, satu per satu. Pada bulan November 1090
M, mereka berhasil merebut Granada dan disusul oleh Seville. Satu-satunya kota
yang masih berada dalam kekuasaan Kristen dan tidak mampu direbut oleh Dinasti
Murabithun adalah kota Toledo. Pemerintahan Dinasti Murabithun sudah mulai
stabil pada tahun 1102 M dan mulai saati itu Dinasti Murabithun menjadi sebuah
dinasti yang diperhitungkan sepanjang utara Afrika dan Spanyol. Keberadaan
Dinasti Murabithun di Spanyol juga telah berhasil mewujudkan kepastian hukum,
sehingga orang-orang Nasrani juga mendapat hak mereka sesuai hukum yang
berlaku. Dalam beberapa dasawarsa kemakmuran masyarakat Spanyol terasa
meningkat (Merduati, 2007: 36).
Di atas kekuasaan
golongan Murabithun, yang terdiri dari para muallaf yang mewarisi tradisi
Barbar memunculkan ledakan gairah keagamaan fanatik di awal abad ke-12 yang
pada gilirannya merugikan kaum Kristen, Yahudi dan bahkan kaum muslimin liberal
(Philip K. Hitti, 2013: 690).
Dalam bidang fiqh,
Dinasti Murabithun menjadikan Mazhab Maliki sebagai mazhab resmi dalam
pemerintahannya. Meskipun Al-Ghazali merupakan salah seorang ulama terkemuka
yang mendukung Dinasti Murabithun untuk menyerang Muluk at-Thawaif, namun
penguasa dinasti tersebut memasukkan karya-karya Al-Ghazali dalam daftar hitam
hitam dan diperintah untuk dibakar karena dianggap dianggap tidak sejalan
dengan Mazhab Maliki (Merduati, 2007: 37).
Selama lebih dari
setengah abad, kekuasaan Murabithun begitu kuat di Afrika Barat Daya dan
Spanyol Selatan. Untuk pertama kalinya seorang Barbar memainkan peran penting
di panggung dunia (Philip K. Hitti, 2013: 689). Selama menguasai Spanyol,
Dinasti Murabithun telah menyelamatkan umat Islam dari serangan Kristen, atau
setidaknya mereka telah mampu menunda kehancuran Islam di Spanyol. Dinasti
Murabithun juga berhasil mengalahkan perlawanan Alfonso IV (Merduati, 2007: 35).
Dinasti Murabithun di
Spanyol berumur pendek, kekuasaan dinasti tersebut dilingkupi oleh lingkar
nasib kerajaan-kerajaan Asiatik dan Afrika, oligarki militer yang efesien dan
diikuti kemalasan dan korupsi yang mengarah pada disintegrasi dan kejatuhan
(Merduati, 2007: 45).
7.
Masa Dinasti Muwahhidun
Dinasti Muwahhidun
didirikan oleh Ibn Tumart yang wafat pada 1128 M. Dinasti ini datang ke Spanyol
di bawah pimpinan Abd Al-Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154 M beberapa kota
penting, seperti Cordova, Almeria dan Granada berhasil direbut oleh Dinasti
Muwahhidun. Selama berkuasa di Spanyol, Dinasti ini mengalami banyak kemajuan.
Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Pada tahun 1212 M, tentara
Kristen berhasil memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa (Badri
Yatim, 2014: 99).
Muhammad ibn Tumart
yang digelari dengan Al-Mahdi, berkeinginan memulihkan Islam ke dalam bentuknya
yang asli. Dia mengajarkan kepada para pengikutnya tentang doktrin tauhid,
keesahan Tuhan dan konsep spiritual tentang Tuhan. Langkah ini merupakan bentuk
protes kepada antromorfisme yang berlebihan dan telah menyebar di kalangan umat
Islam kala itu (Philip K. Hitti, 2013: 694).
Setelah Abdul
al-Mu’min meninggal (1163 M), penguasa al-Muwahhidun terbesar lainnya adalah
Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199 M). Pada masa ia berkuasa, Seville
dijadikan sebagai ibu kota kerajaan untuk Spanyol. Dia juga membantu kaum
muslimin di Mesir yang sedang melawan tentara Salib dengan mengirim 180 kapal
kepada Salahuddin al-Aiyubi. Masa pemerintahan al-Mansur ini dipandang sebagai
masa keemasan bagi Dinasti Muwahhidun (Merduati, 2007: 39).
Perhatian utama
Dinasti Muwahhidun adalah memenangi perang suci melawan Kristen di Spanyol.
Namun keinginan tersebut tidak berhasil dicapai (Philip K. Hitti, 2013: 697).
Disebabkan beberapa kakalahan yang dialami oleh Dinasti Muwahhidun, akhirnya
para penguasa Dinasti ini memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke
Afrika Utara pada tahun 1235 M. Pasca ditinggalkan oleh Dinasti Muwahhidun,
keadaan Spanyol kembali kacau di bawah kekuasaan raja-raja kecil. Kondisi
tersebut menyebabkan umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan pasukan
Kristen. Pada tahun 1238 M, Cordova jatuh ke tangan Kristen dan disusul oleh
Seville pada tahun 1248 M. Akhirnya, seluruh Spanyol, kecuali Granada lepas
dari kekuasaan Islam (Badri Yatim, 2014: 99).
8.
Masa Bani Ahmar (1232-1492 M)
Pada periode keenam
sejarah Islam di Spanyol, umat Islam hanya berkuasa di daerah Granada yang
dipimpin oleh Bani Ahmar. Pemerintah bani Ahmar berdiri dan berkuasa di Spanyol
selama 2,5 abad yang dipimpin oleh 32 orang Khalifah. Pada awalnya pergantian
kepemimpinan dilakukan dengan rasa ikhlas, tetapi lama kelamaan disebabkan
nafsu terhadap kemewahan banyak yang menyodorkan diri sebagai pemimpin. Kondisi
ini akhirnya menyebabkan terjadinya pergolakan politik dalam istana (Merduati,
2007: 52).
Pada masa Bani Ahmar,
peradaban Islam di Granada mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman
An-Nashir, tetapi sayangnya dinasti ini hanya memiliki wilayah kekuasaan yang
kecil (Badri Yatim, 2014: 99-100). Kejayaan Bani Ahmar, mencapai puncaknya pada
masa sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan sultan ke delapan. Orang
yang berusaha mengembangkan tamaddun Islam di Spanyol terbagi kepada dua
golongan. Pertama, golongan Arab dan ahli pikir yang pindah ke Spanyol pada
saat Islam masuk ke sana. Kedua, adalah golongan yang lahir di Spanyol sendiri.
Golongan kedua ini adalah gabungan antara pendatang dengan rakyat pribumi Islam
di Spanyol (Merduati, 2007: 53).
Kebudayaan umat Islam
di Spanyol terhenti ketika terjadinya kemelut di lingkungan istana akibat
perebutan kekuasaan. Hal ini menyebabkan hilangnya pamor Granada yang terkenal
dengan peradaban dan keunikan bangunannya. Bangunan megah terakhir yang
didirikan oleh umat Islam di Spanyol adalah istana Alhamra yang diselesaikan
pada masa Sultan Muhammad Al-Ghani Billah. Pada masa pemerintahan selanjutnya,
kebudayaan umat Islam di Spanyol tidak lagi menonjol (Merduati, 2007: 74).
Kekuasaan Islam yang
merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol ini berakhir setelah terjadi
konflik internal di tubuh Bani Ahmar. Abu Abdullah Muhammad yang merasa tidak
senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain untuk menjadi raja,
akhirnya melakukan pemberontakan yang mengakibatkan ayahnya terbunuh. Kemudian
pemerintahan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta
bantuan kepada Ferdinad dan Isabella untuk menjatuhkan pemerintahan Muhammad
ibn Sa’ad. Akhirnya, dua penguasa Kristen ini berhasil menjatuhkan penguasa
yang sah dan kemudian digantikan oleh Abu Abdullah. Namun pada perkembangan
selanjutnya, Ferdinand dan Isabella berkeinginan untuk merebut kekuasaan Bani
Ahmar yang merupakan kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol (Badri Yatim,
2014: 99-100).
Tak lama setelah
Muhammad XII (Zaghall) dikalahkan, Abu Abdullah diminta oleh Ferdinand untuk
menyerahkan kota yang baru dikuasainya. Pada musim semi tahun berikutnya,
Ferdinand bersama 10.000 tentara berkuda kembali memasuki Granada dan
menghancurkan lading-ladang pertanian dan kebun buah-buahan. Kemudian Ferdinand
mengepung benteng pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol dengan sangat rapat
dengan maksud agar penguasa muslim tersebut segera menyerah (Philip K. Hitti,
2013: 704).
Setelah mendapat
serangan dari pasukan Kristen tersebut, akhirnya Abu Abdullah menyerahkan
kekuasaan Bani Ahmar kepada Ferdinand dan Isabella, Abu Abdullah sendiri
terpaksa hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Islam
di Spanyol pada tahun 1609 M (Badri Yatim, 2014: 100).
Sebelumnya, pada saat
pasukan muslim telah menyatakan menyerah, penguasa Kristen memberikan beberapa
syarat kepada umat Islam di Spanyol. Pertama, sultan beserta pejabatnya harus
mengucapkan sumpah setia kepada raja-raja Castile. Kedua, Abu Abdillah akan
menerima sebidang tanah di al-Basyarat. Ketiga, orang Islam dijamin keamanannya
oleh hukum mereka dan bebas menjalankan ajaran agamanya (Philip K. Hitti, 2013:
705). Tetapi pada perkembangan selanjutnya, raja tertinggi dari penguasa
Kristen, Ferdinand dan Isabella melanggar syarat kesepakatan perlindungan. Di
bawah kepemimpinan pendeta kepercayaan Isabella, yang bernama Kardinal Ximenez
de Cisneros, kampanye untuk memaksa perpindahan agama pun dilakukan, tepatnya
pada tahun 1499. Kardinal tersebut menarik buku-buku tentang Islam dan
membakarnya. Saat itu, Granada menjadi medan api tempat pembakaran
naskah-naskah Arab. Semua orang muslim yang tetap tinggal di Spanyol setelah
penaklukkan Granada disebut sebagai Moriscos, sebuah nama yang awalnya
diterapkan kepada orang Spanyol yang memeluk Islam (Philip K. Hitti, 2013: 706).
B.
Kemajuan Peradaban Islam di
Andalusia
Masuk dan
berkembangnya Islam di Andalusia (Spanyol) selama lebih kurang tujuh setengah
abad telah membuka ckarawala baru dalam sejarah Islam. Pada saat itu umat Islam
di Spanyol telah mencapai kemajuan yang pesat, baik di bidang ilmu pengetahuan
maupun kebudayaan. Hal ini ditandai dengan bermunculan figur-figur ilmuan yang
sukses di bidangnya masing-masing (Dedi Supriyadi, 2008: 119). Sampai dengan
saat ini, buah karya ilmuan muslim di Spanyol telah menjadi bahan rujukan para
akademisi, baik di Barat maupun di Timur (Dedi Supriyadi, 2008: 120).
Meskipun terjadi
persaingan sengit antara penguasa Abbasiyah di Baghdad dengan Umayyah di
Spanyol, namun hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selamanya berupa
peperangan. Walaupun umat Islam berpecah dalam beberapa kesatuan politik,
tetapi kesatuan budaya Islami tetap terjaga dengan baik. Bahkan, perpecahan
umat Islam di Spanyol pada masa Muluk at-Thawaif juga tidak menyebabkan
mundurnya peradaban dan justru pada masa itu merupakan puncak kemajuan ilmu
pengetahuan, kesenian dan kebudayaan Spanyol Islam. Muluk at-Thawaif juga
disebut-sebut berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang lebih maju
(Badri Yatim, 2014: 106-107).
Satu hal yang tidak
dapat dipungkiri, bahwa kemajuan peradaban Islam di Spanyol pada saat itu telah
berimbas pada bangkitnya Renaisans di dunia Barat pada abad pertengahan
sehingga dapat dikatakan bahwa Arab Spanyol adalah guru bagi bangsa Eropa.
Cordova sebagai ibukota Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang tinggi
sehingga dapat menyamai kemasyhuran Baghdad di Timur dan Kairo di Mesir (Dedi
Supriyadi, 2008: 120).
Kemajuan Eropa yang
terus berkembang sampai saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu
pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Meskipun banyak saluran
yang menjadi media bagi peradaban Islam dalam mempengaruhi Eropa, namun Spanyol
adalah saluran yang terpenting. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh di
Eropa adalah Ibn Rusyd. Dia telah melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan
kebebasan berpikir. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, sehingga menimbulkan
gerakan Averroisme (Ibn Rusyd). Berawal dari gerakan Averroisme ini-lah di
Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad
ke-17 M (Badri Yatim, 2014: 108-109).
Pengaruh peradaban
Islam di Eropa, berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar
di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti: Universitas Cordoba,
Seville, Malaga, Granada dan Salamanca (Badri Yatim, 2014: 109).
Kedatangan Islam di
Spanyol membawa perubahan yang sangat besar, terutama di bidang sosial dan ilmu
pengetahuan serta kebudayaan. Perkembangan kebudayaan di Spanyol Islam
terbentuk bukan hanya karena sentuhan dari tradisi Arab-Islam dengan kebudayaan
masyarakat yang multibudaya inilah yang akhirnya terikat menjadi satu dan
membentuk budaya Islam yang tinggi pada masa itu. Semua ini tidak terlepas dari
kepiawaian dan dukungan dari penguasa dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
tingginya motivasi umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan budaya,
sehingga dalam waktu singkat Spanyol berubah menjadi pusat pengembangan ilmu
pengetahuan islam di belahan Barat (Samsul Nizar, 2009).
Adapun beberapa
kemajuan intelektual dan fisik yang berhasil dicapai oleh umat Islam di Spanyol
adalah sebagai berikut:
1.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan
Filsafat
Dalam bidang
filsafat, Spanyol Islam telah merintis pembangunannya sekitar abad ke-9 M
selama pemerintahan Muhammad bin Abdurrahman. Kajian tentang filsafat ini
dilanjutkan oleh penguasa berikutnya, yakni Al-Hakam (961-976 M) yang mengeluarkan
kebijakan untuk mengimpor karya-karya ilmiah dan filosofis dari Timur dalam
jumlah yang besar (Dedi Supriyadi, 2008: 120).
Kekuasaan Islam di
Spanyol merupakan jembatan penyeberangan ilmu pengetahuan Yunani dari Arab ke
Eropa pada abad ke-12. Tokoh utama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah
Abu Bakar Muhammad ibn Al-Sayigh yang lahir di Saragosa dan lebih dikenal
dengan Ibn Bajjah. Tokoh lainnya adalah Ibn Thufail yang lahir di sebuah dusun
kecil sebelah timur Granada (Badri Yatim, 2014: 101).
Pada akhir abad ke-12
juga muncul seorang pengikut Aristoteles yang berasal dari Andalusia (Spanyol),
(Badri Yatim, 2014: 102). Beliau adalah Ibn Rusyd. Namanya mencuat karena
pemikirannya dalam filsafat telah membawa kemajuan pesat, tidak hanya di dunia
Islam, tetapi juga bagi dunia Barat. Ibn Rusyd dilahirkan di Cordoba pada tahun
520 H/1126 M (Afrizal, 2006: 76-77).
Karya paling penting
yang dihasilkan oleh Ibn Rusyd dalam bidang filsafat adalah Tahafut at-Tahafut
sebagai jawaban atas serangan Al-Ghazali atas rasionalisme dalam karyanya
Tahafut al-Falasifah. Berkat karyanya tersebut, Ibn Rusyd menjadi filosof
paling terkenal di dunia muslim, sedangkan di kalangan Yahudi dan Kristen, dia
dikenal sebagai komentator Aristoteles (Philip K. Hitti, 2013: 743).
Kemajuan ilmu
pengetahuan Spanyol Islam tidak terlepas dari berbagai faktor penunjang, baik
faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal dalam hal ini adalah
faktor ajaran islam sebagai motifasi, nilai dan doktrin yang terakumulasi dalam
al-Qur’an dan Hadits, ini merupakan pendorong utama dalam memajukan pendidikan
Spanyol Islam. Sedangkan faktor ekstrinsik, merupakan faktor yang berhubungan
dengan upaya kaum muslimin Spanyol dalam menciptakan kultur Islam dalam
membentuk kebudayaan. Faktor tersebut antara lain adalah: (1) faktor kekuasaan,
(2) faktor akademis, (3) faktor kompetisi positif yang ditunjukkan umat Islam
dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, (4) faktor toleransi
dan stabilisasi nasional antara Islam dan non-Islam (Samsul Nizar, 2009).
2.
Bidang Geografi dan Sains
Spanyol Islam
(Andalusia) juga banyak melahirkan ilmuan di bidang sains. Dalam bidang
Matematika, pakar yang paling terkenal adalah Ibn Sina. Bidang Matematika juga
melahirkan Ibn Saffat dan Al-Kimmy, keduanya juga dikenal sebagai ahli di
bidang teknik. Dalam bidang Fisika muncul tokoh Ar-Razi yang telah berhasil
membuat sejumlah substansi dan proses kimiawi. Dalam bidang Kimia dan
Astronomi, selain Abbas ibn Farmas juga dikenal Ibrahim ibn Yahya An-Naqqash.
Abbas ibn Farmas adalah penemu pembuatan kaca dari batu, sedangkan Yahya
An-Naqqash dikenal sebagai orang yang dapat menentukan waktu terjadinya gerhana
matahari (Dedi Supriyadi, 2008: 121).
Para tokoh muslim di
Spanyol juga memperoleh prestasi di bidang ilmu pengetahuan alam, terutama ilmu
botani murni dan terapan. Mereka melakukan berbagai penelitian yang akurat
tentang perbedaan jenis kelamin berbagai tanaman (Philip K. Hitti, 2013: 731).
Pada abad ke-12, di Seville, hidup Abu Zakariya Yahya ibn Muhammad ibn Al-Awwam
yang telah mampu menghasilkan karya di bidang agrikultur, yaitu Al-Filahah.
Karya ini tidak menjadi referensi penting di dunia Islam, tetapi menjadi karya
istimewa pada abad pertengahan. Buku tersebut menjelaskan sekitar 585 jenis
tanaman serta mengungkapkan perkembangbiakan lebih dari 50 jenis buah. Tapi
sayangnya, menurut Hitti, buku yang sangat istimewa tersebut tidak terlalu
dikenal oleh penulis Arab (Philip K. Hitti, 2013: 732).
Ilmuan yang paling
terkenal dalam bidang botani dan farmasi di Spanyol, bahkan di seluruh dunia
Islam, adalah Abdullah ibn Muhammad Al-Baythar yang lahir di Malaga. Di antara
karyanya adalah al-Mughni fi al-Adwiyah al-Mufradah tentang pengobatan dan
al-Jami’ fi al-Adwiyah al-Mufradah yang merupakan catatan mengenai obat-obatan
dari binatang, sayuran dan mineral(Philip K. Hitti, 2013: 733). Ahli
obat-obatan lainnya adalah Ahmad ibn Ibas dari Cordova. Sementara itu, Umm
Al-Hasan binti Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua orang ahli
kedokteran dari kalangan wanita (Badri Yatim, 2014: 102).
Ibn Al-Khatib
(1313-1374 M) adalah dokter ternama di Granada. Dia telah pernah mengarang
sebuah buku tentang penyakit menular dan epidemia. Pada saat itu Al-Khatib
muncul di antara dokter-dokter di Eropa, dia menerangkan dengan baik tentang
bentuk dan penyebab penyakit epidemia (Merduati, 2007: 56). Selain itu, Ibn
Khatima juga seorang dokter yang masyhur dan wafat pada tahun 1369 M. Dia juga
menulis tentang penyakit menular (Merduati, 2007: 56-57).
Ahli geografi paling
terkenal pada abad ke-11 M adalah Al-Bakri, seorang Arab Spanyol. Al-Bakri
adalah ahli geografi pertama dari muslim Barat yang karyanya mampu bertahan
sampai sekarang. Sedangkan penulis geografi dan ahli kartografi paling cerdas
pada abad ke-12 adalah Al-Idrisi, seorang keturunan bangsawan Arab Spanyol.
Setelah Al-Idrisi, kepustakaan geografi berbahasa Arab dapat dikatakan tidak
sepenuhnya menampilkan originalitas, tapi lebih banyak bercerita tentang kisah
para petualang (Philip K. Hitti, 2013: 724).
3.
Bidang Sejarah dan Sosiologi
Dalam bidang sejarah,
Spanyol Islam telah melahirkan banyak penulis sejarah terkenal, di antaranya
Zubair dari Valancia yang menulis sejarah tentang negeri-negeri muslim di
Mediterania serta Sisilia. Tokoh lainnya, Ibn Al-Khatib yang menulis sejarah
tentang Granada dan Ibn Khaldun yang merumakan seorang perumus filsafat
sejarah. Karya besar lainnya yang ditulis oleh sejarawan Spanyol Islam adalah
Tarikh Iftitah Al-Andalus yang ditulis oleh Ibn Qutyah, dia lahir dan
dibesarkan di Cordoba, wafat pada tahun 977 M. Selain itu, karya besar lainnya
ditulis oleh Ibn Hayyan yang berjudul Al-Muqrabis fi Tarikh Ar-Rizal Al-Andalus
(Dedi Supriyadi, 2008: 122).
Ibnu Khaldun adalah
ahli sejarah yang sangat terkenal melalui karyanya Miqaddimah. Sebagai seorang
ilmuan yang mencoba merumuskan hukum-hukum kemajuan dan kemunduran suatu
bangsa, Ibn Khaldun juga dianggap sebagai penemu sejati cabang ilmu sosiologi.
Tidak ada penulis Arab, atau pun Eropa yang pernah meletakkan sudut pandang
sejarah dengan begitu komprehensif dan filosofis. Menurut Hitti, semua pendapat
kritis bersepakat bahwa Ibn Khaldun merupakan filosof sejarah terbesar yang
pernah dilahirkan Islam sepanjang masa (Philip K. Hitti, 2013: 724).
Umat Islam di Spanyol
juga melahirkan beberapa orang penulis biografi. Salah satu yang pertama di
antara mereka adalah Abu Al-Walid ibn Abdullah Al-Faradhi yang lahir pada 962 M
di Cordova. Satu-satunya karya Ibn Al-Faradhi adalah Tarikh Ulama al-Andalus
yang masih ada sampai sekarang (Philip K. Hitti, 2013: 720).
4.
Bidang Agama dan Hukum Islam
Umat Islam di Spanyol
menganut Mazhab Maliki pada awalnya diperkenalkan oleh Ziyad ibn Abdurrahman
yang selanjutnya dikembangkan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa
Hisyam bin Abdurrahman. Ahli Fiqih lainnya yang terkenal di Spanyol adalah Abu
Baki, Ibn Al-Qutiyah, Munzir, Ibn Said Al-Batuthi dan Ibn Hazm. Selain itu, Ibn
Rusyd yang juga ahli fiqih telah menulis sebuah kitab fiqih monumental yang
dinamai dengan Bidayatul Mujtahid. Sampai dengan saat ini, kitab tersebut masih
menjadi rujukan dalam bidang fiqih, khususnya di Indonesia (Dedi Supriyadi,
2008: 122).
Dalam bidang
keagamaan, di Spanyol saat itu juga hidup sufi terkenal, yaitu Abu Bakar
Muhammad ibn Ali Muhyidin ibn Arabi. Dia dilahirkan di Murcia pada tahun 1165 M
dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Seville sampai 1202 M dan wafat di
Damaskus pada 1240 M. Di antara sekian banyak karyanya yang berpengaruh adalah
al-Futuhat al-Makkiyah dan Fishush al-Hikam (Philip K. Hitti, 2013: 747-748).
5.
Bidang Musik dan Kesenian
Indikasi kemajuan
bidang seni dan musik di Spanyol, ditandai dengan berdirinya sekolah music di
Cordoba yang didirikan oleh Zaryab, seorang artis terbesar di zamannya. Zaryab
adalah siswa sekolah musik Ishaq Al-Mausuli di Baghdad. Sekolah tersebut
akhirnya menjadi model bagi sekolah musik lainnya yang bermunculan di Villa,
Toledo, Valencia dan Granada (Dedi Supriyadi, 2008: 122).
Ziryab adalah seorang
musisi yang pernah mengharumkan istana Harun Ar-Rasyid yang tidak hanya
memperoleh popularitas sebagai artis, tetapi juga sebagai seorang ilmuan dan
sastrawan. Ketenarannya itu menimbulkan kecemburuan dari gurunya yang sama-sama
populer, Ishaq Al-Maushuli. Akhirnya Ziryab melarikan diri ke Afrika Barat
Laut. Ziryab bersinar sebagai seorang penyair sekaligus astronom dan ahli
geografi. Ziryab menjadi figur paling popular pada masa itu dan bahkan menjadi
pencipta trend (Philip K. Hitti, 2013: 654).
Perkembangan seni
musik di Spanyol, memberikan pengaruh yang cukup besar pada seni musik di
kawasan Eropa. Ketika masyarakat Kristen menerima model lirik lagu muslim,
nyanyian Arab menjadi populer di seluruh semenanjung Spanyol (Philip K. Hitti,
2013: 765).
Perkembangan sastra
dan sya’ir modern mendorong juga pertumbuhan ilmu musik dan seni suara di
Andalusia. Pada zaman Abd al-rahman II al-Awsath, Hasan Ibn Nafi’ (dikenal pula
dengan nama Ziryab) tiba di Cordova. Keahliannya di bidang musik membekas
hingga sekarang dan bahkan ia dianggap sebagai peletak dasar musik Spanyol
modern. Sigrid Hunke dan Abd al-Mun’im Maguid menginformasikan bahwa ulama
Arablah yang memperkenalkan not lagu: do-re-mi-fa-sol-la-si. Not itu diambil
dari bunyi-bunyi huruf Arab (Jaih Mubarok, 2008: 137).
Dalam bidang seni
kerajinan, umat Islam di Spanyol menyebarkan dan mengembangkan semua bidang
seni dan kerajinan yang dikenal oleh umat Islam. Dalam bidang kerajinan logam,
yang meliputi seni dekorasi, pengembangan pola-pola relief atau ukiran,
kemudian melapisinya dengan emas dan perak serta penggambaran berbagai
karakter. Salah satu peninggalan seni yang paling tua adalah gambar Hisyam V
(976-1009 M) yang terdapat di atas altar tinggi di Katedral Gerona di atas
bentuk peti mati kayu dilapisi sepuhan perak. Lukisan tersebut mengambil bentuk
repouse dengan beberapa lengkungan berbentuk Spiral (Philip K. Hitti, 2013:
754).
Salah satu bidang
seni yang cukup berkembang adalah seni porselen dan pelapisan logam. Impor
produk-produk ini memberikan dasar yang baik bagi pengembangan industry
porselen di Poitier. Dari Spanyol, kemudian industry tersebut diperkenalkan ke
Italia. Dalam ragam bentuk karya seni porselen, khususnya keramik lantai dan
faince biru, muslim Spanyol dikenal memiliki keistimewaan tersendiri (Philip K.
Hitti, 2013: 755).
6.
Bidang Bahasa dan Sastra
Di antara tokoh
bidang bahasa dan sastra yang lahir di Spanyol adalah Al-Qali, yang dikenal
dengan karyanya Al-Kitab Al-Bari fil Al-Lughah dan Az-Zubaidy, seorang ahli tata
bahasa dan filologi (Dedi Supriyadi, 2008: 121-122). Tokoh lainnya dalam bidang
sastra dan bahasa sebagaimana disebut oleh Yatim dalam bukunya: Ibn Sayyidih,
Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu
Al-Hasan ibn Usfur dan Abu Hayyan Al-Gharnathi (Badri Yatim, 2014: 103).
Dalam bidang sastra,
penulis yang paling terkenal adalah Ibn Abd Rabbihi (860-940 M) dari Cordova
yang merupakan penyair kesayangan Abdurrahman III. Tapi pujangga terbesar dan
memiliki pemikiran murni dari kalangan muslim Spanyol adalah Ali ibn Hazm
(994-1064 M), (Philip K. Hitti, 2013: 709). Selain itu, penyair terkenal
lainnya adalah Abu al-Walid ibn Zaidun (1003-1071 M). Dia dianggap oleh
beberapa orang sebagai penyair terbesar di Andalusia (Spanyol), (Philip K.
Hitti, 2013: 712).
Seiring dengan
perkembangan sastra yang pesat di Spanyol, karya-karya sastra-pun banyak
bermunculan, di antaranya: Al-Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, Al-Dzakirah fi
Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam dan kitab Al-Qalaid karya Al-Fath ibn
Khaqan (Badri Yatim, 2014: 103). Puisi-puisi Arab memberikan kontribusi penting
pada munculnya skema sastra yang tegas tentang cinta platonic dalam bahasa
Spanyol pada awal abad ke-8.
7.
Bidang Pembangunan Fisik
Dalam bidang fisik, Spanyol
Islam telah mendirikan bangunan-banguan dan berbagai fasilitas, seperti
perpustakaan yang jumlahnya sangat banyak, gedung pertanian, jembatan-jembatan
air, irigasi, roda air dan lain-lain. Istana-istana dan mesjid-mesjid besar
yang megah serta tempat pemandian dan taman juga disatukan dalam kota yang
tertata dengan teratur. Di Cordoba terdapat 700 mesjid dan 300 buah pemandian
umum. Istana Raja Az-Zahra yang dibangun di kaki gunung dan menghadap sungai
Quadalquiurr memiliki 400 buah ruangan. Di atas istana tersebut terdapat
jembatan yang melintasi sungai dengan konstruksi lengkung sebagai penyangga
(Dedi Supriyadi, 2008: 123). Karena air sungai tidak dapat diminum, penguasa
muslim juga membuat saluran air dari pegunungan sepanjang 80 km (Badri Yatim,
2014: 105).
Kemegahan Islam
Spanyol juga dapat dilihat di Granada. Kota ini mengambil tempat pada sebuah
dataran tinggi yang tersubur dan termasyhur di Spanyol. Rio Darro mengalir
membelah jantung kota ini. Rio Darro adalah sebuah kanal besar yang sangat
panjang yang digali pada masa pemerintahan Bani Ahmar di Granada. Kanal ini
digali mulai dari pegunungan Searra Nevada, yang membujur jauh di sebelah timur
laut kota Granada. Puncaknya selalu diselimuti salju dan memutih bersih saat
ditimpa sinar matahari (Merduati, 2007: 58).
Orang-orang Arab di
Spanyol telah memperkenalkan hidrolik untuk tujuan irigasi; dam untuk mengecek
curah air hujan dan waduk untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan
hidrolik dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) yang berasal
dari Persia (Badri Yatim, 2014: 104). Kaum Arab di Spanyol memperkenalkan
metode pertanian yang dipraktikkan di Asia Barat. Mereka menggali kanal-kanal,
menanam anggur dan tanaman lainnya. Mereka juga memperkenalkan padi, aprikot,
persik, delima, jeruk, tebu, kapas dan kunyit. Kemajuan pertanian merupakan
salah satu sisi keagungan peradaban Islam di Spanyol dan menjadi hadiah abadi
yang diberikan oleh orang Arab di daratan Eropa tersebut (Philip K. Hitti,
2013: 671-672).
Produk-produk
industri dan pertanian Spanyol Muslim lebih dari cukup untuk konsumsi domestik.
Seville adalah satu pelabuhan besar yang mengekspor kapas, zaitun, minyak dan
kain. Melalui Iskandariyah dan Konstantinopel produk-produk muslim Spanyol
memperoleh pasarnya sampai jauh ke India dan Asia Tengah. Pemerintah Spanyol
juga membuat lembaga mata uang dengan dinar sebagai satuan emas dan dirham
sebagai satuan perak. Uang Arab digunakan di kerajaan-kerajaan Kristen di Utara
yang hampir empat ratus tahun tidak memiliki mata uang, selain mata uang Arab
dan Perancis (Philip K. Hitti, 2013: 673).
Semua monument karya
seni religius di Spanyol telah musnah, kecuali satu yang paling tua dan paling
indah, yaitu Mesjid Cordova. Sedangkan monument-monumen non religius seperti
istana Alcazar di Seville dan Alhamra di Granada, dengan dekorasinya yang
besar, megah dan indah merupakan contoh peninggalam paling agung di Spanyol
(Philip K. Hitti, 2013: 758-759). Model dekorasi Spanyol muslim mencapai puncak
kebesarannya pada bangunan istana Dinasti Nashiriyah, yaitu Al-Hamra. Sebagian
besar dekorasi interior istana tersebut dipenuhi oleh kaligrafi . Bagian paling
indah dan paling agung adalah istana singa. Di tengah-tengah istana tersebut
terdapat dua belas patung singa yang terbuat dari Porselen dan tegak berdiri
dalam lingkaran (Philip K. Hitti, 2013: 761).
C.
Runtuhnya Kerajaan Andalusia
Kekuasaan Islam di
Spanyol telah banyak memberikan sumbangan yang tidak ternilai bagi peradaban
dunia saat ini. Tetapi imperium yang begitu besar di daratan Eropa ini pada
akhirnya juga mengalami nasib yang sangat memilukan (Dedi Supriyadi, 2008:
123-124).
Para penguasa muslim
tidak melakukan Islamisasi secara sempurna di Spanyol dan membiarkan penduduk
Spanyol mempertahankan hukum dan adat mereka. Pemerintah Islam terlalu cepat
merasa puas hanya dengan setoran upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen asalkan
mereka tidak melakukan perlawanan bersenjata kepada pemerintah Islam (Badri
Yatim, 2014: 107).
1.
Lemahnya Kekuasaan Bani Umayyah
II dan Bangkitnya Kerajaan-Kerajaan Kecil di Andalusia
Masa kejayaan Islam
di Spanyol dimulai pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Abdurrahman III
dan dilanjutkan oleh puteranya, Hakam. Pada masa kedua penguasa tersebut,
keadaan politik dan ekonomi di Spanyol mengalami puncak kejayaan dan
kestabilan. Setelah Hakam II wafat, dia digantikan oleh Hisyam II yang pada
saat itu baru berusia 11 tahun. Karena usia yang masih sangat muda, Hisyam II
tidak mampu mengendalikan kekuasaan. Akhirnya roda pemerintahan dikendalikan
oleh ibunya dengan bantuan Muhammad ibn Abi Umar yang dikenal dengan Hajib
Al-Mansur, seorang yang haus kekuasaan. Akhirnya khalifah hanya dijadikan
sebagai boneka. Setelah Hajib Al-Mansur wafat, dia digantikan oleh anaknya
Abdul Malik Al-Muzaffar, kemudian Al-Muzaffar digantikan oleh Abdurrahman yang
gemar berfoya-foya serta tidak disenangi oleh rakyat sehingga keadaan negara
menjadi tidak stabil (Dedi Supriyadi, 2008: 124).
Pada tahun 1009 M,
khalifah mengundurkan diri, kemudian beberapa orang mencoba untuk menduduki
jabatan khalifah, tetapi tidak ada yang mampu memperbaiki keadaan di Spanyol.
Akhirnya pada tahun 1013, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan
jabatan khalifah sehingga Spanyol terpecah dalam banyak sekali kerajaan kecil
yang menguasai kota-kota tertentu (Badri Yatim, 2014: 97).
Di sisi lain,
munculnya Muluk Ath-Thawaif (dinasti-dinastin kecil) secara politis juga
menjadi sebab kemunduran Islam di Spanyol. Melemahnya kekuasaan Islam di
Spanyol, telah diketahui oleh orang-orang Kristen sehingga mereka bersiap-siap
untuk menyerang pemerintahan Islam. Kerajaan Kristen Aragon berhasil Huesea
pada tahun 1096 M, Saragosa (1118 M), Tyortosa (1148 M) dan Kenida pada tahun
1149 M. Pada tahun 1212 M, koalisi raja-raja Kristen berhasil menaklukkan Las
Navas De Tolosa yang menyebabkan Dinasti Muwahhidun menarik diri dari Spanyol.
Sebagian besar kota penting yang awalnya dikuasai oleh Islam, akhirnya satu per
satu jatuh ke tangan pihak Kristen (Dedi Supriyadi, 2008: 125).
Pada pertengahan abad
ke-13, satu-satunya kota penting yang masih dikuasai oleh Islam adalah Granada
di bawah pimpinan Dinasti Ahmar. Pada awalnya, para penguasa Kristen membiarkan
keberadaan Dinasti Ahmar dengan syarat membayar pajak kepada penguasa Kristen,
tapi akhirnya di antara mereka terjadi perselisihan sehingga kekuasaan Dinasti
Ahmar menjadi terancam. Selain itu, dalam tubuh Dinasti Ahmar sendiri juga
terjadi perebutan kekuasaan yang mengakibatkan munculnya perang saudara.
Akhirnya pada tahun 1492 M, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam
di Spanyol dapat dikuasai oleh penguasa Kristen Spanyol (Dedi Supriyadi, 2008:
125).
Nasib umat Islam
pasca penaklukan Granada oleh penguasa Kristen sangat menyedihkan. Pada tahun
1556 M, penguasa Kristen melarang pakaian Arab dan Islam di seluruh wilayah
Spanyol, bahkan pada tahun 1566 M, penggunaan bahasa Arab dilarang di Spanyol
(Dedi Supriyadi, 2008: 125-126).
2.
Timbulnya Semangat Orang-Orang
Eropa Untuk Menguasai Kembali Andalusia
Setelah berhasil
menaklukkan Spanyol, para penguasan muslim tidak melakukan Islamisasi secara
sempurna dengan membiarkan penduduk Spanyol memeluk agamanya serta diberi ruang
untuk mempertahankan hukum dan tradisi mereka sendiri. Pemerintah Islam hanya
mewajibkan membayar pajak kepada negara bagi penduduk Spanyol. Lambat laun,
kondisi ini menjadi bumerang bagi pemerintah Islam, di mana penduduk Kristen
Spanyol terus menyusun kekuatan untuk menggulingkan penguasa muslim (Dedi
Supriyadi, 2008: 124).
Pada perkembangan
selanjutnya, di Spanyol bermunculan beberapa kerajaan yang didirikan oleh
orang-orang Kristen, di antaranya: Kerajaan Leon dan Castile, Kerajaan Navarre
dan Kerajaan Aragon. Kemelut yang diciptakan oleh para penguasa Kristen ini
juga menjadi pemicu melemahnya kekuasaan Islam di Spanyol. Para penguasa
Kristen tersebut bermaksud ingin menguasai kembali Spanyol.
Dikisahkan bahwa,
kelompok orang-orang Katholik yang menolak kehadiran kaum muslimin di Spanyol
melarikan diri ke perbatasan Spanyol bagian Utara yang merupakan kawasan
pegunungan dan terdiri dari lembah dan gua sehingga cocok dijadikan sebagai
tempat persembunyian. Mereka mengangkat Pelayo (718-747 M) sebagai pemimpin
pertama di pengasingan yang semasa dengan amir Islam di Spanyol, Abdurrahman.
Ibu kota kerajaan Katholik ini berada di Cangas de Onis dan kemudian
dipindahkan ke Oviedo pada masa pemerintahan Alfonso II. Raja tersebesar
Khatolik Spanyol adalah Alfonso III yang semasa dengan Muhammad bin Abdurrahman
II, pemimpin Islam Andalusia (Spanyol), (Merduati, 2007: 17).
Ketika Garcia I
(909-914 M) memerintah, ibu kota kekuasaan Katholik dipindahkan ke Leon. Ketika
Ordono III (951-956 M) naik tahta, dia mengakui hegemoni kekhalifahan Islam di
Spanyol yang saat itu dipimpin oleh Abdurrahman An-Nashir. Para penguasa Kristen
pada saat itu membayar upeti kepada pemerintahan Islam (Merduati, 2007: 18).
Pada abad ke-10, Kerajaan Kristen Navarre menampakkan kekuasaannya setelah
berhasil merebut sebagian wilayah Arragon. Pada saat pemerintahan Sancho III
Garces (1005-1035 M), dia menyatukan wilayah Navarre, Castile, Leon dan
Sobrarbe di bawah kekuasaannya (Merduati, 2007: 18-19).
Kerajaan Kristen
lainnya yang muncul di saat umat Islam Spanyol dalam keadaan lemah adalah
Kerajaan Aragon pada tahun 1035 M. Kemudian pada tahun 1179 M, Alfonso dari
Aragon membuat perjanjian dengan Kerajaan Castile untuk memberikan kesempatan
kepada Kerajaan Aragon menghadapi Arab di Valencia (Merduati, 2007: 24-26).
Perkembangan kerajaan Kristen Spanyol menjelang terusirnya umat Islam dari
Semenanjung Iberia tersebut lebih banyak terlibat pergolakan politik dengan
Perancis, Inggris, Portugal, Itali dan Sisilia (Merduati, 2007: 27). Pada
perkembangan selanjutnya, Ferdinan II (1479-1516 M) dari Aragon mengawini
Isabella dari Castile dan menggabungkan kedua kerajaannya menjadi satu.
Gabungan dua kerajaan tersebut dikenal dengan Reyes Catolicos atau dalam bahasa
Inggris disebut dengan Catholic Kings (Merduati, 2007: 29).
Setelah berhasil
menaklukkan kekuasaan Islam di Spanyol, para penguasa Kristen melakukan
pemaksaan kepada umat Islam di Spanyol untuk berpindah agama atau keluar dari
Spanyol. Semua buku dan naskah-naskah berbahasa Arab dibakar oleh para penguasa
Kristen.
Umat Islam yang tetap
tinggal di Spanyol, banyak di antara mereka yang menjadi kripto-muslim, yaitu
orang yang mengaku Kristen, tetapi secara diam-diam mempraktikkan ajaran Islam.
Sebagian umat Islam yang pulang dari pesta pernikahan ala Kristen, kemudian
secara diam-diam melakukan pernikahan kembali sesuai dengan ajaran Islam. Banyak
pula umat Islam yang mengadopsi nama Kristen sebagai nama publik, tetapi
menggunakan nama Arab secara pribadi (Phillip K. Hitti, 2003: 706-707).
D.
Penyebab Kehancuran dan
Kemunduran Peradaban Islam di Andalusia
Dalam masa kekuasaan
Islam di Spanyol yang begitu lama tentu memberikan catatan besar dalam
mengembangkan dan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi peradaban
dunia. Namun, sejarah panjang yang telah diukir kaum muslim menuai kemunduran
dan kehancuran. Kemunduran dan kehancuran disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain:
1.
Konflik Islam dengan Kristen
Keadaan ini berawal
dari kurang maksimalnya para penguasa muslim di Andalusia dalam melakukan
proses Islamisasi. Hal ini mulai terlihat ketika masa kekuasaan setelah
al-Hakam II yang dinilai tidak secakap dari khalifah sebelumnya. Bagi para
penguasa, dengan ketundukan kerajaan-kerajaan kristen dibawah kekuasaan kristen
hanya dengan membayar upeti saja, sudah cukup puas bagi mereka. Mereka
membiarkan umat Kristen menganut agamanya dan menjalankan hukum adat dan
tradisi kristen, termasuk hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan
senjata (Badri Yatim, 2014: 107).
Namun, kehadiran Arab
Islam tetap dianggap sebagai penjajah sehingga malah memperkuat nasionalisme
masyarakat Spanyol Kristen. Hal ini menjadi salah satu penyebab kehidupan
negara Islam di Andalusia tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam
dan Kristen. Akhirnya pada abad ke-11, umat Islam Andalusia mengalami
kemunduran, sedang umat Kristen memperoleh kemajuan pesat dalam bidang IPTEK
dan strategi perang (Badri Yatim, 2014: 107).
Pada tahun 1212 M,
umat Kristen mengadakan serangan besar-besaran ke Spanyol dengan
mengatasnamakan perang suci di Eropa. Mereka dapat menghimpun bantuan
sukarelawan yang terdiri dari orang-orang Perancis, Jerman, Inggris dan Itali.
Serangan tersebut dihadapi oleh pasukan Khalifah Al-Mansur Billah bersama
600.000 tentara di Las Navas de Toloso, sekitar 70 mil sebelah timur Cordova.
Pada saat itu pasukan Kristen dipimpin oleh Raja Castile, Alfonso VIII. Dalam
pertempuran tersebut pasukan Kristen dapat mengalahkan pasukan Islam dan
menyebabkan berkahirnya kekuasaan Al-Muwahhidun di Spanyol (M. Abdul Karim,
2009: 248).
Karim menyebutkan
bahwa, kemunduran dan kehancuran Islam di Andalusia disebabkan oleh para
penguasa Islam yang cukup puas menerima upeti dari penguasa Kristen dan tidak
melakukan Islamisasi secara sempurna di Spanyol. Sementara kehadiran bangsa
Arab di Spanyol menimbulkan rasa iri bagi penduduk Kristen dan kondisi ini
turut membangkitkan rasa kebangsaan umat Kristen di Spanyol. Selain itu,
loyalitas militer Islam sebagai tentara bayaran juga sangat diragukan. Di sisi
lain, etnis-etnis non Arab di Spanyol juga sering menjadi perusak perdamaian
(M. Abdul Karim, 2009: 250).
2.
Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Hal ini terjadi
hingga abad ke-10 atas perlakuan para penguasa muslim sebagaimana politik yang
dijalankan Bani Umayyah terhadap para mu’allaf yang berasal dari umat setempat.
Mereka diperlakukan tidak sama seperti tempat-tempat daerah taklukan Islam
lainnya. Kenyataan ini ditandai dengan masih diberlakukannya istilah ibad dan
muwalladun, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.
Akhirnya
kelompok-kelompok etnis non-Arab terutama etnis Salvia dan Barbar, sering
menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal ini menimbulkan dampak besar bagi
perkembangan sosio-ekonomi di Andalusia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
ieologi pemersatu yang mengikat kebangsaan mereka. Bahkan banyak diantara
mereka yang berusaha menghidupkan kembali fanatisme kesukuan guna mengalahkan
Bani Umayyah (Badri Yatim, 2014: 107).
3.
Kesulitan Ekonomi
Dalam catatan
sejarah, pada paruh kedua masa Islam di Andalusia, para penguasa begitu aktif
mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga mengabaikan pengembangan
perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang memberatkan dan
berpengaruh bagi perkembangan politik dan militer. Kenyataan ini diperparah
lagi dengan datangnya musim paceklik dan membuat para petani tidak mampu
membayar pajak. Selain itu, penggunaan keuangan negara tidak terkendali oleh
para penguasa muslim (Badri Yatim, 2014: 108).
4.
Tidak Jelasnya Sistem Peralihan
kekuasaan
Kekuasaan merupakan
hal yang menjadi perebutan diantara ahli waris. Karena inilah kekuasaan Bani
Umayyah runtuh dan Muluk al-Thawaif muncul. Maka, Granada yang awalnya menjadi
pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol akhirnya jatuh ke tangan Ferdinand
dan Isabella (Badri Yatim, 2014: 108).
5.
Keterpencilan
Spanyol Islam
bagaikan negeri terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang
sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Oleh karena itu,
tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen disana
(Badri Yatim, 2014: 107).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Andalusia, sebuah
negeri yang meninggalkan jejak begitu besar di sepanjang sejarah umat Islam
pada awal perkembangan Islam di dunia Eropa. Tentu hal ini menyita banyak
perhatian besar dari berbagai khalayak umat Islam. Dikatakan demikian, karena
penguasaan Islam terhadap semenanjung Iberia lebih khusus Andalusia, telah
menunjukkan bahwa Islam telah tersebar ke negara Eropa.
Mulai dari tahapan
awal proses masuknya Islam, dimana wilayah Spanyol diduduki oleh
khalifah-khalifah dalam setiap dinasti-dinasti yang didirikan dalam setiap
periodenya. Tentu, hal ini banyak memiliki peranan yang sangat penting dan
besar dalam perkembangan umat Islam. Dimana pada akhirnya Islam pernah
berjaya di Spanyol dan berkuasa selama tujuh setengah abad. Suatu masa kekuasaan
dalam waktu yang sangat lama untuk mengembangkan Islam.
Namun, di balik usaha
keras umat Islam mempertahankan kejayaan pada masa sekian abad itu, umat Islam
menghadapi kesulitan yang amat berat. Dimana pada suatu ketika, umat Islam
diterpa serangan-serangan penguasa Kristen yang sampai-sampai umat Islam tidak
kuasa menahan serangan-serangan penguasa Kristen yang semakin kuat itu.
Sehingga pada akhirnya Islam menyerahkan kekuasaannya dan semenjak itu
berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol.
Demikianlah Islam di
Andalusia, walaupun pada akhirnya berakhir dengan kekalahan, namun islam muncul
sebagai suatu kekuatan budaya dan sekaligus menghasilkan cabang-cabang
kebudayaan dalam segala ragam dan jenisnya. Banyak sekali kontribusi Islam bagi
kebangunan peradaban dan kebudayaan baru Barat. Sumbangan Islam itu telah
menjadi dasar kemajuan Barat terutama dalam bidang-bidang politik, ekonomi,
sains dan teknologi, astronomi, filsafat, kedokteran, sastra, sejarah dan
hukum.
B.
Saran
Demikian makalah yang penulis buat, penulis menyadari bahwa penulisan
makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis memohon maaf atas
segala salah dan kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
dan semoga makalah ini bisa menjadi referensi bagi penulisan lain dan dapat
memberi sumbangsih bagi khazanah ilmu pengetahuan. Segala bentuk saran dan
kritik para pembaca akan penulis terima dengan senang hati untuk perbaikan
penulisan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. 2006. Ibn Rusyd; Tujuh
Perdebatan Utama dalam Teologi Islam. Jakarta: Erlangga.
Al-Fahmy, Nurjamil. 2015. Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI). Ciamis: Darussalam.
Hitti, Philip K. (terjemah: Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi). 2013. History of The Arabs. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
Karim, M. Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Merduati. 2007. Runtuhnya Kekuasaan Islam
di Spanyol dan Implikasinya Terhadap Umat Islam di Eropa. Banda Aceh: Ar-Raniry
Press.
Misbah, Ma’ruf., dkk. 1996. Sejarah
Kebudayaan Islam. Semarang: CV. Wicaksana.
Mubarok, Jaih. 2008. Sejarah Peradaban
Islam. Bandung: CV. Pustaka Islamika.
Nizar, Samsul. 2009. Sejarah Pendidikan
Islam “Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia”.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban
Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar